Minggu, 08 Agustus 2010

Absynthe Edisi #1: ESEI


 ESEI


 Bermain Ski Di Kepala Botak Afrizal Malna
Oleh: Dwi S. Wibowo

Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari. (Afrizal Malna: “dada”)
Naomi srikandi, dalam pengantarnya (Manusia Grogi Mebaca Puisi-Puisi Afrizal Malna) dalam acara launching buku kumpulan puisi afrizal malna yang dicetak ulang oleh penerbit omah sore menyebut bahwasanya membaca puisi-puisi afrizal malna adalah keluar dari taman bacaan sastra yang manyajikan keindahan namun memasuki tong sampah, toilet umum, dan slogan-slogan busuk yang terpampang di kota-kota. Yang justru menyajikan kesan spontan yang acak adul. Tidak seperti kebanyakan penyair lain yang betah berlama-lama membuai diri dalam kenikmatan berbahasa, afrizal justru terkesan meledak-ledak dalam ekspresi berbahasa dalam sajak-sajaknya akan kita jumpai metafor-metafor yang terlampau jauh. Bahkan bisa jadi akan sangat susah dicerna, karena memang kerap kali dalam puisi-puisi afrizal malna terdapat simbolisme-simbolisme yang bisa dibilang baru. Sehingga akan lebih terasa bahwa puisi-puisi afrizal malna sekedar menampilkan imaji-imaji visual yang mengajak pembaca ke sebuah dunia baru yang benar-benar asing dari kenyataan, dan bukan menampilkan pesan-pesan yang ingin disampaikan didalamnya.

Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari, kita akan menemukan puisi berjudul “dada” yang salah satu baitnya berisi begini:

Dada

Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca diri sendiri; seperti anakanak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, dada;seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa mebaca. Menulis jadi mengapa menulis.
Dalam satu bait puisi di atas terdapat tiga kata “dada”, dan penempatan diksi tersebut yang sepertinya tidak mengarah pada fungsi dada sebagai salah satu organ manusia, sebagai objek mati, namun justru afrizal malna meletakkan kata “dada” sebagai sebuah objek yang hidup seperti halnya menyebut nama orang. Saya sempat menerka demikian, namun perlakuan afrizal malna terhadap diksi “dada” yang demikian tidak hanya dalam puisi “dada” saja namun saya juga menemukannya dalam puisi “abad yang berlari”. Ada kalimat yang berbunyi begini:

Dada yang bekerja di dalam waktu
Di sinipun dada diperlakukan sebagai sebuah subjek hidup yang nyata bekerja. Bisa dibilang ini merupakan metafor yang tidak lazim dipakai dalam puisi di indonesia yang akan lebih banyak mengeksplorasi benda mati untuk dihidupkan dalam bait, bukan terhadap organ-organ manusia yang bisa dibilang benda hidup namun tidak dapat sepenuhnya hidup sebagai objek dalam perilaku berbahasa. Meskipun ada juga penyair lain yang juga mencoba menghidupkan organ-organ manusia, yaitu gus tf, semisal dalam puisinya yang bertajuk “daging akar”, namun di dalam puisi tersebut gus tf tidak mampu sepenuhnya menghidupkan daging menjadi subjek yang seratus persen hidup yang berlaku sesuai fungsinya sebagai subjek, daging dalam puisi gus tf hanya menjadi bulan-bulan untuk hidup namun juga menghidupi kata lain dalam puisi itu untuk menyusun metafor yang indah. Dalam kumpulan puisi Abad Yang Berlari afrizal malna melakukan banyak sekali eksplorasi semacam itu. Jadi semacam terjadi proses totalisasi yang berpusat pada subjek dalam puisi afrizal malna, tempat segala objek menjadi subjek, ekspresi suasana hati manusia. Di situ kita menyaksikan sebuah personifikasi subjek, sebuah antroposentrisme (faruk:150). Kumpulan puisi Abad Yang Berlari menampung banyak sekali diksi “dada” mulai dari puisi yang berjudul “dada”, “tanah dada”, sampai “dia hanya dada”. Nampaknya afrizal malna begitu terpesona pada dada hingga ia enggan untuk berjauhan dari dada.

Setelah saya membaca usai buku kumpulan puisi tersebut, ternyata saya menjumpai bahwasanya afrizal tidak hanya mencintai dada, namun ada beberapa diksi yang juga ia perlakukan sama halnya dengan “dada”, melakukan proses antroposentrisme, proses personifikasi subjek. Metafor lain yang ia gunakan ialah “televisi” dan “palu”. Penggunaan metafor “televisi” ini saya pikir menjadi unik karena hampir setiap pemakaiannya, afrizal seperti ingin menyampaikan sesuatu, kalau boleh saya bilang kekaguman terhadap fenomena keluarnya televisi di era 80-an
Yang barangkali masih menjadi benda langka kala itu. Misalnya dalam peutup puisi “lembu yang berjalan” terdapat kalimat seperti ini:

Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.
Televisi seperti merenggut sebagian besar perhatian manusia, manusia tidak lagi berpikir nama, tidak lagi berpikir tempat. Semua telah terenggut televisi. Atau juga dalam puisi “chanel 00” yang sangant pendek,begini bunyinya:

Chanel 00
Sebentar.
Saya sedang bunuh diri.

Teruslah mengaji dalam televisi berdarah itu, bunga.

1983

Unik sekali, pendek namun betapa jelas menggambarkan imaji visual. Afrizal malna merupakan penyair yang cukup peka dengan fenomena sosial di sekitarnya, pemakaian metafor “televisi” sendiri merupakan bagian dari kepekaannya melihat fenomena masyarakat tahun 80-an yang deigemparkan oleh munculnya pesawat televisi. Sedangkan penggunaan metafor “palu” hanya saya dapati pada puisi “abad yang berlari” :

Abad Yang Berlari
Palu. Waktu tak mau berhenti, palu. Waktu tak mau berhenti. Seribu jam menunjuk waktuyang berbeda-beda. Semua berjalan sendiri-sendiri, palu.
Sama halnya dengan pemakaian metafor “dada”, metafor “palu” digunakan dengan proses antroposentrisme, personifikasi subjek secara total. Dan uniknya lagi, “dada”, “palu” selalu dikombinasikan dengan waktu. Nampaknya afrizal hendak menyampaikan bahwasanya waktu dalam dada sama dengan palu yang memukul-mukul paku (ini hanya terkaan saya saja).

Mengutip K.L. Junandharu dalam sebuah diskusi di yayasan umar kayam, (desember 2009). Bahwasanya afrizal malna menulis puisi yang bertujuan untuk melampaui hukum-hukum kausalitas temporal yang niscaya pada suatu puisi, dan memimpikan satu puisi dimana efek-efek penyejajaran dan keserempakan bisa tercipta. Afrizal malna tidak sekedar mengacak semiotika bahasa, namun ia membawa konsep dasar untuk manampilkan imaji-imaji visual yang baru dan segar lewat pemakaian simbol-simbol dalam metafor-metafornya. Terlepas dari itu semua, Abad Yang Berlari memberikan banyak sekali memberikan petualangan baru dalam ranah bahasa, sebuah permainan yang menarik seperti bermain ski di kepala afrizal yang botak, salah langkah sedikit dalam upaya memahaminya bisa terjebak dalam longsor salju tanda tanya yang mengejar dengan kecepatan ratusan mph dan siap mengubur hidup-hidup.

_ , Yogyakarta, 2010



BIODATA KONTRIBUTOR

Dwi S. Wibowo. lahir 23 februari 1990. Kini kuliah di Fak. Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, serta bergiat di komunitas rawarawa dan sanggar kreatifitas mahasiswa (Sarkem) Yogyakarta. Puisinya masuk dalam antologi sebuket mawar merah(juxtapose, 2009) serta dimuat di beberapa media cetak. Sempat pula membacakan puisinya di Art Centre, Denpasar.

Buletin Absynthe menerima kiriman puisi, esei dan cerpen yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Silahkan kirimkan naskah anda ke komunitasrawarawa@yahoo.com. Bagi penulis yang karyanya dimuat, mohon maaf kami belum bisa menyediakan honorarium.Gak dibiayain Ford sih. Ha ha ha.