Jumat, 21 Januari 2011

Absynthe Edisi #3: SAJAK

Kereta yang Menjemput Kita

kereta yang menjemput kita baru saja tiba. di sekitar rel,
getarannya masih kuat terasa. roda-rodanya perlahan berhenti berputar.
kita lalu memahaminya sebagai sebuah panggilan yang samar.
sebuah nyanyian, yang mengajak kita untuk segera berjalan,
melepaskan kenangan, melupakan kesedihan.

kita menyerahkan tatapan mata pada akhir dari sebuah perjalanan.
di mana tempat perhentian, mulai begitu saja ditinggalkan dan dilupakan.
kita kini, berada di tempat ini, berdiri. gerbong-gerbong menatap kita
gelisah tanpa sebuah senyuman. seperti baru saja menemukan
sebuah rumah yang dihuni begitu banyak kejadian memilukan.
dan kita pun melangkah perlahan. lalu burung-burung entah dari mana
seketika beterbangan. dan  sesaat lagi kita akan berteman
dengan lamanya perjalanan. sambil berusaha untuk melupakan
setiap kilometer ingatan. masa lalu yang terlanjur kelabu,
semoga segera dihantam waktu hingga hancur menjadi debu.

kereta yang menjemput kita telah ada di hadapan mata. semakin
lemah saja langkah-langkah. semakin sulit saja menatap langit. semakin
terasa sia-sia, pencarian yang selama ini kita lakukan. sebab
kebenaran nyatanya masih saja disamarkan. dan betapa
pengkhianatan, masih terasa perih menyakitkan.

Bogor, November 2010



Ardy Kresna Crenata lahir di sebuah desa Cianjur dan sudah lima tahun ini menetap di Bogor. Ia tengah berusaha menuntaskan studi S1-nya di Institut Pertanian Bogor Departemen Matematika.




Pada Sebuah Taman
Kepada Cecelia A. Puspita

aku ingin mendengar kicau burung-burung pagi
aku ingin merasakan getar lagu daun-daun jatuh
di taman ini, fajar demikian gugup demikian gagap
lahir dan beralih begitu saja tanpa meninggalkan apapun
kecuali dingin udara dan lembab tetes embun mengendap
pada bangku-bangku kayu tanpa pernah tahu
siapa yang telah kuasa memilikinya.

musim semi hadir dalam penantianku
membayangkan pohon-pohon tumbuh dari anganku
lumut-lumut mulai merambat dari celah dinding
mengalir dalam darah menuju setiap ruang dalam rongga dadaku
lalu mulai kurasakan sejuk udara menjalar
ke seluruh tubuh bagai kuntum bunga yang jatuh pada alir sungai
di taman ini, hanyut dan berkelok mengikuti arus
yang tak pernah dapat kita terka dimana ia akan tertambat.

kau adalah musim burung-burung bernyanyi
kau adalah musim yang menanggalkan bunyi daun-daun jatuh
di jalanan, mobil-mobil bergegas melaju dalam kecepatan tinggi
sesegera mungkin meninggalkan kota dingin ini
mereka tinggalkan rumah-rumah yang tak lagi memberi cahaya
dan bangku-bangku taman telah ditumbuhi jamur
tinggal bangku yang kita duduki ini, yang memberi sisa kehangatannya
sebelum jamur diterbangkan angin musim dingin kemari
segera kemasilah seluruh angan dan ingin yang merebak dalam benakku
lalu masukkan dalam koper yang tentu kau tahu
kemana akan kau buang kuncinya.

(Yogyakarta, 02 Desember 2010)



Requiem Kesunyian

sesekali singgahlah di ruang terdalam sajakku
hingga suara-suara riuh memanggili nama-Mu

dan sesudahnya, tentu akan segera kau mengerti
tentang siapa yang belajar kehilangan lebih dulu.
(Yogya, 01 November 2010)


Dwi S. Wibowo lahir di Jatilawang pada 23 Februari 1990. kini kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Sanggar Kreatifitas Manusia (Sarkem) Yogyakarta serta Komunitas Rawarawa.




Sonet XII

hujan mengguyur Surabaya. Lalu lintas buyar.
Kenangan kembali mengejar. Sepanjang jalan Kertajaya
aku berlari melewati patahan ranting. Tapi seraut muka
datang dari segala arah dan dada ini menjadi gemetar.

Apa yang berubah dari kota ini selain kau telah pergi
selain lidahku terus memanjang. Begitu rindu
pada tipis bibirmu. Begitu candu pada baris gigimu. Kapanlah lagi
bersama, menyusuri taman kota. Berdesakan dalam bus kota.

Bersorak liar dalam kaos hijau. Menunggu di Stasiun Gubeng
duduk di pelataran Pasar Wonokromo. Di mana kau
lidahku memanjang mencari mulutmu. Di dalam ruang mulutmu
aku ingin kembali bilang bahwa aku mencintaimu. Sekarang

aku meratapi perpisahan ini seperti raung serigala hutan
lapar akan sekerat daging di tengah segala hujan.

(2010)

Syaiful Bahri, lahir di Sumenep 11 Maret 1991. Kini dia menetap dan kuliah di sebuah universitas di Surabaya. Bergiat di komunitas ESOK.

Absynthe Edisi #3: ESEI

Seribu Klaim, Nol Pemahaman, Nol Pertanggungjawaban
:Tanggapan atas esei Romi Zarman, “Tiga Catatan” (Riau Pos, Minggu, 19 September 2010)
Oleh: Dea Anugrah

Sehabis membaca esei Romi Zarman di Riau Pos edisi Minggu (19 September 2010) berjudul ‘Tiga Catatan,’ beberapa pertanyaan muncul di benak saya. Bukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang bermuka-muka dengan realitas, sebagaimana yang biasa timbul sehabis membaca esei berkualitas, melainkan pertanyaan-pertanyaan, atau lebih tepatnya, keraguan-keraguan yang diarahkan kepada esei tersebut, juga kepada penulisnya.

Terus terang, saya tak dapat menahan diri untuk tidak menggarisbawahi banyak pernyataan Romi dalam esei itu. Sekali lagi, maaf, bukan lantaran kalimat-kalimat itu mencerahkan, tetapi karena rasa gemas yang tidak tertanggungkan. Dalam banyak esei sastra—entah itu ditulis oleh kritikus sastra, eseis, penyair, prosais, pengamat sastra hingga pembaca—Indonesia kita seringkali menemukan lubang-lubang berupa klaim-klaim asersif alias pernyataan-pernyataan yang tidak disertai pertanggungjawaban. Sebagian menjadikan keterbatasan ruang dalam media publikasi sebagai alasan, yang lain tak merasa perlu repot-repot menjelaskan. Pokoknya plek tulisan jadi dan dimuat, ya sudah. Mengesalkan, bukan? Ya, memang. Memalukan juga. Tapi hal semacam itu bukanlah peristiwa luar biasa dalam sastra Indonesia. Mau tak mau ya pemakluman juga yang akhirnya menutup kegelisahan. Namun kali ini berbeda, sebab bukan hanya tak ada pertanggungjawaban atas pernyataan-pernyataan yang dideretkan dalam esei berjudul ‘Tiga Catatan’ tersebut, tetapi kelayakan intelektual pernyataan-pernyataan itu sendiri, akibat sikap patronising (sok tahu) sang penulis, berada dalam tingkatan yang sangat mengkhawatirkan.

Sebagaimana terbaca dari judulnya, ada tiga hal besar yang dibicarakan Romi Zarman dalam eseinya tersebut.  Berikut ini saya kutipkan secara utuh pengantar Romi mengenai apa-apa saja yang dibahas dalam eseinya itu, semacam abstraksi: “Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional. Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain.

Mari Membaca Sejarah Sastra Cyber Indonesia

Dalam bagian pertama eseinya, Romi Zarman menjelaskan; Pertama, perbedaan antara sastra cyber dengan sastra koran di Indonesia.  Kedua, posisi media cyber sebagai ruang alternatif sekaligus tempat belajar menulis dan Ketiga, Ia mengklaim adanya ambivalensi dalam sikap sebagian sastrawan cyber setelah terlebih dahulu mengatakan bahwa sastrawan cyber menolak kehadiran sastra koran. Meski pembahasan poin pertama dan kedua dalam bagian pertama esei Romi tersebut juga perlu dipertanyakan-ulang, namun saya, dalam bagian pertama esei ini hanya akan mempersoalkan poin ketiga saja. Yang bagi saya paling gawat. Kata Romi, “...Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah... ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana.”

Entah dari mana Romi mendapatkan informasi bahwa sastrawan cyber jelas-jelas mencurigai proses seleksi koran dan karenanya menolak koran. Dulu, sebelum sastra cyber Indonesia lahir, sudah ada polemik mengenai sastra koran. Yang menjadi instrumen serangan, salah satunya adalah kecurigaan bahwa selera subjektif dan kepentingan redakturlah yang berperan dalam proses seleksi. Itu satu hal, katakanlah namanya ‘Kontoversi Kehadiran Sastra Koran Indonesia.’ Sedangkan sikap sastrawan cyber terhadap sastra koran adalah hal lain. Dalam sebuah perbincangan di Facebook, Saut Situmorang, salah seorang penggerak sastra cyber Indonesia generasi awal menyatakan bahwa yang harus dihancurkan adalah dominasi koran, dalam arti, kekuasaan fasistik dan diktatoris koran dalam menentukan mana karya yang layak, estetis, sublim dan mana yang tidak, yang menjadikan koran (seolah) segala-galanya. Bukan koran sebagai media sosialisasi karya itu sendiri—Beberapa penjelasan serupa juga bisa dibaca dalam Cyber Grafiti: Polemik Sastra Cyberpunk (Jendela, 2004) yang merekam polemik sastra cyber Indonesia. Jadi, bisa dikatakan, bagi seorang sastrawan cyber, koran bukanlah najis dan bukan pula dewa, melainkan sekadar salah satu ruang publikasi, sementara internet adalah ruang publikasi lainnya. Dengan demikian, di manakah letak ambivalensi yang kau keluhkan, Romi?

Pandir Psikis, Bukan Pandir Teknologi

            Dalam bagian kedua eseinya, Romi Zarman mengutarakan bahwa dengan pesatnya perkembangan sastra cyber, sesungguhnya dikotomi antara pengarang lokal-nasional tidak lagi relevan, namun, di sisi lain, masih ada sejumlah pengarang yang bersikukuh mempertahankan pola itu. Menurut Romi, hal tersebut dikarenakan mereka (para pengarang yang masih mempertahankan jurang lokal-nasional itu) tidak mengikuti perkembangan, tidak up to date dan pandir teknologi.

            Karena perkembangan sastra cyber yang begitu pesat, batas-batas teritorial (seolah) lenyap, akses ke media-media yang dianggap lokal bisa dilakukan dari mana saja, maka, dikotomi antara pengarang lokal-nasional, bahkan internasional sesungguhnya tidak lagi relevan. Seorang pengarang yang mempublikasikan karyanya di media lokal, telah dengan sendirinya menjadi bagian dari dunia publikasi nasional dan internasional. Demikian pula sebaliknya. Ya, saya sependapat. Meski ini tentu bukan gagasan baru, sejak awal kemunculan sastra cyber pun gagasan ini sesungguhnya sudah ada. Namun kemudian, yang akan saya tanggapi adalah klaim Romi bahwa pola klasik (dikotomi lokal-nasional) yang masih bertahan disebabkan oleh masih adanya sebagian pengarang ‘nasional’ kita yang gagap memasuki dunia internet. Bentuk-bentuk diskriminasi dari pengarang ‘pandir teknologi’ itu, menurut Romi, antara lain: mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Dan tuduhan itu semakin meledak-ledak: “Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka,” tulisnya.

            Duh, Romi. Memang benar bahwa pola diskriminatif seperti itu harus dihilangkan, tidak ada yang salah dengan tuntutan itu. Yang menjadi persoalan adalah ‘tuduhanmu’ yang tidak tepat sasaran. Mereka, pengarang-pengarang fasis itu, bersikap demikian bukan karena gagap teknologi. Justru, sebagian yang saya temui termasuk orang-orang yang akrab dengan dunia cyber. Dan yang gagap teknologi, tidak selalu bersikap fasis seperti itu. Umbu Landu Paranggi, misalnya, penyair yang konon sampai sekarang tidak mau menerima kiriman puisi via e-mail untuk rubrik Apresiasi koran Bali Pos yang dijaganya, dikenal luas sebagai sosok yang jauh dari sikap ‘sombong’ a la para pengarang fasis. Sebaliknya, beberapa nama pengarang (sekadar) ‘nasional’ yang ‘sombong’ yang saya ketahui, adalah orang-orang yang relatif fasih dan piawai memanfaatkan media internet. Dengan demikian, tepatkah jika kepandiran teknologi sebagian pengarang dijadikan alasan bagi masih bernyawanya dikotomi lokal-nasional hari ini? Saya kira tidak. Mereka bukan pandir teknologi, tapi pandir psikis. Betapa pun majunya perkembangan teknologi internet, dan betapa pun lihainya para pengarang kita memanfaatkannya, jurang label lokal-nasional, senior-junior dan sikap-sikap diskriminatif itu akan tetap ada, selama kejiwaan mereka masih bermasalah.

Logika Pasar Bukanlah Logika Kesusastraan

            Dalam bagian terakhir eseinya, Romi Zarman menuliskan tentang ambivalensi dalam membumikan sastra, tarik menarik antara media cetak-media cyber dan penerbit besar-penerbit kecil.

 Menurutnya, masyarakat kita memang tak asing lagi dengan internet, namun sebagian besar hanya memanfaatkannya sebatas untuk mencari hiburan, bukan untuk memenuhi kebutuhan akan seni dan ilmu pengetahuan. Maka, bagi Romi, internet tak akan cukup berhasil untuk membumikan sastra. Sebagai pengganti, Romi menyarankan untuk belajar pada kesuksesan buku-buku populer di pasar dan melibatkan penerbit, distributor dan toko-toko buku besar. Katanya, lewat cara itulah buku-buku sastra bisa dekat dengan masyarakat, dekat dengan pembaca. Membumi.

Selanjutnya, ia mengkritik penerbit-penerbit kecil. Menurutnya, penerbit kecil yang kebanyakan menolak mendistribusikan buku-bukunya lewat distributor besar dan toko-toko buku besar atas nama penolakan terhadap kapitalisme, di sisi lain telah melakukan praktik kapitalisasi dengan mengeruk keuntungan dari para pengarang.

Baiklah, mari kita lihat satu per satu. Mengenai proyek pembumian sastra, tidakkah Romi mengerti bahwa persoalannya terletak pada resepsi masyarakat kita atas sastra dan bukan mudah atau tidaknya mencari buku-buku sastra. Seandainya Romi melakukan riset terlebih dahulu, katakanlah mencari tahu berapa banyak buku sastra yang laku di toko-toko buku per tahun, saya rasa ia akan lebih paham duduk perkaranya. Di toko buku terbesar di Indonesia sekalipun, buku-buku sastra jauh dari label best-seller. Memang adakalanya buku sastra laris manis hingga dicetak berulangkali. Tetralogi Pulau Buru, misalnya, belakangan ini termasuk buku-buku laris (sekalipun masih kalah laku dengan buku panduan praktis beternak ayam broiler dan cara mudah menulis skripsi), tapi harus diingat, kejadian-kejadian di ranah sosial-politik Indonesia dan sosok Pramoedya sendirilah yang terutama menarik masyarakat kita untuk penasaran, membeli dan membacanya. Bukan kebutuhan masyarakat atas novel-novel bermutu. Seandainya Tetralogi Pulau Buru tidak diberangus dan Pramoedya tak dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru, barangkali hari ini, karya monumental tersebut akan bertumpuk di gudang distributor karena tidak laku, bahkan mungkin tidak pernah diterbitkan ulang. Suka atau tidak, begitulah keadaan masyarakat kita. Tingkat resepsi atas karya sastra masih sangat rendah. Jadi, sekali lagi, letak permasalahannya bukan pendistribusian buku-buku sastra lewat internet atau jaringan komunitas atau distributor besar, bukan pula penerbitan buku lewat penerbit kecil atau besar. Tapi minat masyarakat terhadap karya sastra. Minat itulah yang perlu dikembangkan, dan itu jelas bukan tugas pengarang. Ia akan secara alamiah berkembang seiring dengan berkembangnya tingkat peradaban masyarakat.

Apabila Romi mempersoalkan kedudukan sastra sebagai milik kaum elit, bagi saya hal itu justru wajar-wajar saja, selama elit di sini hanya dimaksudkan sebagai sedikitnya jumlah orang. Sejak dulu, karya sastra memiliki pembacanya sendiri, dalam jumlah yang minor, tentu saja. Dan tradisi membaca sastra ini tidak berkaitan dengan stratifikasi sosial (tingkat pendidikan formal, tingkat kekayaan dan sebagainya). Seorang profesor, misalnya, bisa jadi lebih menyukai sinetron ketimbang kelembutan puisi-puisi Paul Verlaine. Seorang konglomerat multi-nasional bisa jadi lebih menggemari kelap-kelip lampu diskotik atau dangdut Pantura daripada kisah cinta yang menyelinap di tengah panasnya persaingan keluarga-keluarga mafia dalam novel-novel Mario Puzo. Sebaliknya, seseorang yang tidak lulus sekolah dasar atau seorang tukang angkut sampah atau pedagang kaki lima boleh jadi menikmati hidupnya karena selalu menyempatkan diri membaca satu-dua buah cerita pendek Charles Bukowski yang sarat humor sebelum naik ke peraduan.

Kemudian, mengenai kritik Romi kepada penerbit-penerbit kecil. Sekali lagi, saya menyarankan Romi untuk melakukan riset terlebih dahulu. Misalnya mewawancarai orang-orang yang bergerak di dunia penerbitan, atau yang lebih ekstrem, membuka penerbitan (kecil) sendiri dan menerbitkan buku-buku sastra. Kalau penjualan buku-buku sastra keluaran penerbit (bermodal) besar, didistribusikan oleh distributor-distributor besar dan dipajang di toko-toko buku besar saja masih kurang berhasil, apalagi buku-buku sastra yang terpaksa dicetak ala kadarnya karena penerbitnya hanya bermodal gairah, tidak didistribusikan lewat distributor karena distributor mengkehendaki persenan yang menghisap darah dan tidak dipajang di toko-toko buku besar karena para pedagang itu bagaimanapun juga akan mengutamakan buku-buku laris (buku-buku sastra yang jelas tidak termasuk kategori itu terpaksa bertapa dalam gudang pengap sembari menunggu waktunya di-retur). Dalam keadaan seperti ini, yang dapat dilakukan para penerbit kecil itu hanyalah berhenti menerbitkan buku-buku sastra dan ganti menerbitkan buku-buku yang dikehendaki pasar, atau terpaksa menggulung tikar. Nah. Tapi untunglah masih ada distributor dan toko buku alternatif: internet dan komunitas-komunitas sastra, yang perannya diremehkan Romi, padahal sesungguhnya paling efektif dalam menghantarkan buku-buku tak laku tadi kepada pembacanya yang memang sedikit. Kepada para pembaca sastra.

“Logika pasar bukanlah logika kesusastraan,” ujar Octavio Paz suatu ketika. Dan yang terjadi memang selalu begitu. Ini hal yang sederhana saja. Dan saya kira, untuk memahaminya, kita tidak memerlukan kerja ekstra.


Dea Anugrah. Lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen dan esei di sejumlah bunga rampai, media massa cetak serta online. Kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan bergiat di Komunitas Rawarawa.

Absynthe Edisi #3: ESEI

Mencari Tawaran Baru Dari Realisme Kreatif*
Oleh: Adin**




Membaca tulisan A.S Dharta, saya diingatkan pada warisan besar aliran sastra abad 20 yang selama ini sayup-sayup terdengar: Realisme Sosialis. Suara-suara penerbitan seluruh persekongkolan orde baru tentusa saja banyak menutup akses pengetahuan yang semasa Soeharto berkuasa ini dilarang. Realisme sosilalis tertimbun oleh suara pemenang tunggal paska persitiwa ’65. Perdebatan-perdebatan konseptual dan pencarian apa itu sebenarnya realisme sosialis serta seni bertendens tidak berlanjut lagi. Paska kemenangan itu setau saya dalam sejarah pembabakan sastra yang ditulis Harry Aveling lebih didominasi oleh pencarian-pencarian capaian estetika yang mengejutkan. Sedangkan slogan seni yang bertujuan perlahan-lahan terkubur. Meski pada tahun-tahun berikutnya Rendra muncul dengan sajak pamphlet, dan tidak mengidentifikasikannya sebagai seni bertendens setidaknya pemertanyaan apa fungsi seni lahir kembali dalam bentuk lain. Disusul kemudian sastra konteksutalnya Ariel Heryanto dan sajak-sajak protesnya Wiji Tukul menjelang reformasi 1998. Setelah itu berteriak-teriak sekeras Wiji Tukul kurang menarik lagi bagi generasi seangkatan saya. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pembacaan saya terhadap karya-karya anak muda dan pada kecenderungan karya-karya saya sendiri.




Membaca AS Dharta, telinga saya rasanya diingatkan kembali apa sih sebenarnya kontrbusi seni dalam kehidupan bermasyarakat? Dapatkan seni menjadi nyala revolusi kesadaran manusia dan berbuat sedemikian idealis seperti yang didengung-dengungkan AS Dharta beserta deretan pendukungnya dalam Lekra? Pada beberapa segi kadang saya merasa geli dengan semua utopia yang digaung-gaungkan AS Dharta, kok bisa ya dulu seperti itu? Walaupun euforia paska kemerdekaan tidak bisa terhindarkan. Semua orang dalam semangat revolusi dan semua ingin mengambil bagian. Pada saat itu sebagaimana kita ketahui ada dua arus besar yang terbelah. Antara para pendukung seni untuk seni dan seni bertujuan. Dua-duanya mempunyai pengaruh yang sangat besar dlam mempengaruhi arus sastra Indonesia. Sayangnya perdebatan semacam itu hari ini kurang mendapat perhatian yang lebih lagi. Saya pikir yang perlu diketahui banyak adalah warisan-warisan ide mengenai realisme sosialis pada generasi sekarang inilah yang perlu diperbanyak. Eka Kurniawan pernah menyerukan hal ini, yakni membongkar ulang warisan Pramoedya Ananta Toer: realisme sosialis. Pram dengan tetralogi Burunya berhasil menyajikan sebuah ceita yang tida hanya subtil tetapi juga menginspirasi.




Kembali pada persoalan seni untuk rakyat, pada hakikatnya saya berjarak dengan semua polemik di atas. Bukulah satu-satunya yang mendekatkan saya dengan polemik tahun-tahun pra ’65. Betapa dalam buku ini bisa kita temukan gagasan-gagasan yang menarik menyangkut hal ihwal kesusastraan dan seni. Namun ma tidak mau tesis-tesis AS Dharta akan sangat lain jika kita bicarakan dalam konteks kekinian. Runtuhnya partai komunis Indonesia, bubarnya USSR, revisi mazhab Frankfurt pada gagasan Marx dan yang terakhir tafsir ulang Mao Tse Tung terhadap Marxisme dalam konteks perkembangan China kekinian. Banyak hal yang telah berubah dan suara-suara sumbang yang dipropagandakan kapitalisme mengenai komunisme telah sedemikian merasuk dan diwariskan dari generasi ke generasi. Belum lagi waktu membuktikan negera adidaya semacam Amerika mampu bertahan sesuai dengan tesis Francis Fukuyama. Kesemua hal itu tentu saja akan banyak merubah hal ihwal pandangan optimistis bahkan cenderung utopisnya AS. Dharta. Namun demikian bukan berarti kita tidak bisa apa-apa lagi, apalagi selama penghisapan berwujud korporasi besar transnasional masih berlanjut dan era kaliptalisme lanjut baru saja dimulai. Ah..saya jadi malu memasukkan jargon-jargon besar itu dalam esai ini. Namun harus diakui bahwa menakar ulang marxisme yang menjadi akar bagi realisme sosialis hari ini mendapatkan ujian yang cukup besar. Apalagi benturan antar kelas tidak pernah benar-benar terjadi dalam era kekinian dalam skala yang luas.




Berbicara panjang lebar mengenai gagasan-gagasan di atas barangkali akan melebar kemana-mana dan saya akan semakin kesulitan untuk mempertangungjawabkan istilah dan jargon-jargon. Maka dari itu tulisan ini saya batasi pada asumsi, resepsi, dan kesan-kesan saya selama pembacaan.




Ada lima pembabakan dalam esai yang terangkum buku Kepada Seniman Universal ini. Masing-masing bab berisi sub bab yang memicarakan tema-tema dalam bab utama. Bab pertama esai dibuka dengan tema besar ‘Menuju Realisme Sosialis’. Dalam bab ini AS Dharta berusaha menegaskan kredonya mengkampanyekan seni bertendens dan mengambil sikap terhadap para seniman Gelanggang yang salah satunya dipelopori Chairi Anwar. Jelas sekali pandangan-pandangan AS Dharta penuh dengan optimistis untuk menyongsong revolusi dan mengkritik anasir kontrarevolusiner yang dipandegani seniman gelanggang. Lebih lagi ketika muncul surat kepercayaan gelanggang. Saya teringat sesi wawancara Achdiat Kartamihardja dalam Harian Kompas mengenai latar belakang Lekra terbentuk yakni kekhawatiran pada para seniman yang tidak mempunyai ketegasan sikap. Misalnya pada waktu itu Chairil Anwar menulis untuk majalah Belanda sedangkan kita tahu masa-masa itu paska agresi militer Belanda ke 2. Sikap yang belakangan juga dicela HB. Jassin ini mau tidak mau menambah kekhawatiran bahwa sikap seni untuk seni dijadikan alat untuk lari dari semangat zaman itu. Tentu saja Chairil tidak menjadi satu-satunya alasan hanya saja ada perbedaan orientasi yang jelas antara seniman yang terwadahi dalam Lekra dengan seniman Gelanggang. Di kemudian hari konflik ini meruncing pada sastrawan manikebu dan Lekra. Jadi persoalan hal itu menurut saya tidak hanya bersifat estetis saja melainkan juga penegasan sikap politik juga.




Kehidupan Kultural menjadi judul bab kedua. Dalam bab ini dijelaskan sikap AS Dharta terkait hubungan dengan isu-isu kebudayaan pada umumnya.. baik itu menyangkut budaya sunda, kongres kebudayaan bahkan tontonan rakyat. Lekra dalam hal ini menjadi salah satu organisasi yang maju dan mempunyai strategis kebudayaan yang cukup jelas.terus terang saya tidak tau persis apakah pada tahun-tahun itu kesenian telah diorganisir sedemikian rupa sebagai bagian dari strategi cultural, namun melihat fenomena hari ini dengan banyaknya organisasi yang bergerak di bidang seni yang masih kacau manajerialnya, Lekra terus memompa organisasinya untuk selangkah lebih maju pada tahunnya!




Pada bab menilai dan menjawab kritik, disebutkan capaian sastra realisme sosialis masih banyak yang mempertanyakan perihal capaian estetiknya. Banyak yang menuduh bahwa Lekra hanya berisi sajak-sajak jargon meski belakangan muncul teks-teks kuat dari Agam Wispi, Sitor Situmorang, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Dan mereka adalah para pengarang yang memeluk realisme sosialis dalam proses berkarya. Tentu saja menjadi tuduhan tidak berdasar jika realisme sosialis menjadi alasan lahirnya karya-karya sampah. Siapa yang tidak kenal Tolstoy dan Maxim Gorky yang menjadi dewa yang dipuja orang karena kebagusan karyanya. Teks mereka masih dibicarakan orang hingga sekarang. Jadi seperti yang ditegaskan AS Dharta, realisme sosialis belumlah selesai. Kalaupun ada karya jelek itu karena masih butuh proses karena yang terpenting adalah kesatuan antara isi dan bentuk. Dan bukan hal yang mudah memang.




Bagi Dharta keberpihakan kepada rakyat menjadi kunci utama dalam gerakan sastra realisme sosialis (Dharta lebih suka menamainya realisme kreatif). Hal itu dicontohkannya dalam bab kesusastraan dunia dimana ia lebih banyak mengambil nama-nama tokoh sastra dunia yang berpihak pada komunisme. Tentu saja ditengah carut marut aturan perpolitikan negeri kita jargon-jargon untuk rakyat yang paling sering dan sangat berkepentingan adalah para pejabat ataupun orang-orang parpol. Saya sendiri jadi masygul dengan bersastra kita bisa merubah banyak hal. Namun saya sependapat dengan Adorno yang menyatakan bahwa seni bisa digunakan untuk membangun kesadaran. Dari kesadaran itulah diharapkan timbulnya aksi.




Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan banyak medium jika gagasan saya tidak terwakili medium tertentu. Namun demikian tentu saya berharap banyak diskusi kali ini akan lebih banyak membuka cakrawala saya dan kita semua terhadap berbagai kemungkinan yang masih bisa ditawarkan realisme kreatifnya AS Dharta.






* Esai pendek ini ditulis untuk bedah buku “Kepada Seniman Universal” dalam acara Geladak Sastra # 10 di Omah Pring yang diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring Jombang, 21 November 2010, pukul 19.00 Wib

** Penulis masih bergiat di organisasi Hysteria Semarang

Absynthe Edisi #3: TERJEMAHAN

Kematian Ayah
Oleh: Charles Bukowski

            Ibuku mati setahun yang lalu. Seminggu setelah kematian ayah, aku berada sendirian di rumahnya. Di Arcadia. Padahal biasanya, aku hanya melintasi tempat ini dalam perjalanan pulangku ke Santa Anita.

            Para tetangga tak mengenalku. Upacara pemakaman telah selesai, dan aku berjalan ke kran, menuang segelas air, meminumnya, lalu keluar. Karena menganggur, aku mengambil selang, menyalakan kran air, dan mulai menyirami bunga. Tirai terhembus sementara aku berdiri di halaman depan.

Orang-orang keluar dari rumah mereka. Seorang perempuan datang dari seberang jalan.

            “Kau Henry?” tanyanya.

            Aku memberitahunya kalau aku Henry.

            “Kami telah mengenal ayahmu bertahun-tahun lamanya.”

            Kemudian suami perempuan itu menyusul. “Kami kenal ibumu juga,” ujarnya.

            Aku mematikan aliran air. “Tidakkah kalian ingin mampir?” tanyaku berbasa-basi. Mereka memperkenalkan diri sebagai Tom dan Nellie Miller lalu kami masuk ke dalam rumah.

            “Ah, kau benar-benar mirip ayahmu.”

            “Yah, begitulah kata orang.”

            Kami duduk berhadap-hadapan.

            “Oh,” seru Nyonya Miller tiba-tiba, “Ia mengoleksi banyak lukisan. Pasti ada yang paling ia sukai.”

            “Ya, sepertinya demikian...”

            “Saya benar-benar suka lukisan kincir angin di senjakala itu.”

            “Anda bisa mengambilnya.”

            “Oh, bolehkah?”

            Bel pintu berbunyi. Kali ini keluarga Gibson yang berkunjung. Mereka juga mengatakan bahwa telah bertahun-tahun bertetangga dengan ayahku.

            “Kau sungguh mirip ayahmu,” kata Nyonya Gibson.”

            “Tadi Henry menghadiahi kami lukisan kincir angin,” kata Nyonya Miller

            “Wah, baik sekali. Hmm, saya jatuh cinta pada lukisan kuda biru itu.”

            “Anda boleh mengambilnya, Nyonya Gibson.”

            “Ah, sungguh?”

            Bel berbunyi lagi dan pasangan lain ikut bergabung. Aku biarkan pintunya sedikit terbuka. Tak lama kemudian, seorang pria melongokkan kepalanya. “Saya Doug Hudson. Istriku sedang ke salon.”

            “Silakan masuk, Tuan Hudson.”

            Orang-orang terus berdatangan. Kebanyakan berpasangan. Dan mereka mulai mondar-mandir di dalam rumah.

            “Apa kau akan menjual rumah ini?”

            “Kupikir begitu.”

            “Ini lingkungan yang menyenangkan.”

            “Ya, aku bisa melihatnya.”

            “Oh, aku menyukai bingkai ini, tapi tidak lukisannya.”

            “Bawa saja bingkainya.”

            “Tapi apa yang akan kulakukan dengan lukisannya?”

            “Buang ke tempat sampah.” Aku menyapukan pandang ke sekeliling, “Kalau ada lukisan yang anda sekalian sukai, silahkan ambil.”

            Mereka melakukannya. Sebentar saja, dinding seolah telanjang.

            “Kau memerlukan kursi-kursi ini?”

            “Tidak, tidak terlalu.”

            Rumah terasa sesak, pengunjung bertambah banyak, sebagian bahkan tak merasa perlu memperkenalkan diri padaku.

            “Bagaimana dengan sofanya?” Seseorang bertanya dengan suara keras. “Apa kau menginginkannya?”

            “Tidak,” jawabku.

            Mereka membawa pergi sofa, meja dan kursi makan.

            “Kau punya pemanggang roti ‘kan, Henry?”

            Mereka mengambil pemanggang roti.

            “Kau tidak butuh piring-piring ini kan?”

            “Tidak.”

            “Sendok-garpunya?”

            “Tidak.”

            “Bagaimana dengan teko kopi dan penggiling?”

            “Ambil saja.”

            Salah seorang wanita yang berkunjung membuka-buka lemari makan. “Bagaimana nasib buah-buahan awetan ini? Kau tak mungkin memakan seluruhnya.”

            “Baiklah, semua orang, ambil yang kalian mau. Tapi berbagilah dengan adil.”

            “Oh, aku ingin stroberi!”

            “Aku menginginkan buah ara!”

            “Wai, selai jeruk itu jatahku!”

            Orang-orang pergi dan datang kembali, sebagian membawa pengunjung baru bersama mereka.

            “Hei, ada sebotol kecil wiski di lemari makan! Apa kau minum alkohol, Henry?”

            “Jangan sentuh wiskinya.”

            Rumah semakin ramai. Terdengar suara jamban disiram. Seseorang memecahkan kaca.

            “Sebaiknya kau simpan penyedot debu ini, Henry. Bisa kau gunakan di kamar sewamu.”

            “Baiklah, aku akan menyimpannya.”

            “Ayahmu punya sejumlah perkakas berkebun di garasi. Bagaimana?”

            “Tidak, tidak, lebih baik kusimpan.”

            “Saya akan memberimu 15 dolar.”

            “Oke.”

            Ia memberiku 15 dolar dan aku meminjamkannya kunci garasi. Tak lama kemudian, terdengar bunyi mesin rumput yang didorong menyebrangi jalan.

            “Harusnya perkakas-perkakas itu tak kau jual seharga 15 dolar saja, Henry. Harganya lebih dari itu.”

            Aku diam saja.

            “Bagaimana dengan mobilnya? Sudah berusia empat tahun.”

            “Kupikir aku akan menyimpan mobilnya.”

            “Aku akan membayarmu 50 dolar.”

            “Aku tetap akan menyimpan mobilnya.”

            Seseorang menggulung karpet di ruang tamu. Setelahnya, tak ada lagi yang mereka inginkan. Hanya tiga atau empat orang yang tinggal, dan kemudian mereka semua pergi. Mereka menyisakan selang air, tempat tidur, kulkas butut dan segulung tisu jamban buatku.

            Aku berjalan keluar dan bermaksud mengunci pintu garasi. Dua bocah laki-laki berpapan luncur melintas. Mereka berhenti ketika aku mengunci pintu garasi.

            “Kau lihat pria itu?”

            “Ya.”

            “Ayahnya baru saja mati.”

            Mereka kembali meluncur. Aku mengambil selang, memutar kran dan mulai menyirami mawar.


--diterjemahkan oleh Dea Anugrah
"The Death of the Father" dalam Hot Water Music (1983).