Nini Sang Pengoceh
Moch Satrio Welang
Desa Sidhi Ucap seperti mati. Tak ada seorang pun yang bisa ditemui. Tak ada tawa anak - anak yang bermain senja. Tak juga canda gadis – gadis sungai yang kerap menggema di lereng gunung. Desa Sidhi Ucap benar -benar mati. Bungkam. Seperti biasa senja bergegas lepas karena malam datang lekas. Pepohonan pun seraya mengerti, tak hendak menggemerisikkan daun, bersujud pada alam yang sedang berduka.
Beberapa mil di utara, sedikit meninggalkan desa, sebuah telaga terbaring tenang di keremangan malam. Sesosok perempuan terduduk, bersenandung lirih, pedih. Ia sendiri. Usianya baru tiga puluh tahun, namun gurat wajah yang lelah tak mampu bersembunyi atau lari. Tangan kanannya membawa keranjang berisi bunga hutan, juga alang alang. Beberapa tanaman obat dan sedikit umbi – umbian. Perempuan yang bersenandung lirih, matanya menerawang ke ujung pepohonan dimana angan - angan bersarang. Ia senandungkan nada yang tak teratur, kadang meninggi dan begitu tipis. Sinis. Sisanya menyayat. Adakah malam ini seseorang datang, menjamah tubuhnya, memintal rambutnya dan jelajahi tiap inci matanya yang tampak hitam legam. Muram. Sesekali ia mengambil kerikil kecil dan melemparnya ringan ke telaga. Genangannya merambat, melebar, semakin jauh kemudian lenyap.
Perempuan di ujung telaga dengan mata legamnya, juga bibir keringnya, mendongeng lirih. Perlahan ia arungi ruang tergelap dalam ingatannya. Dan mulai bercerita sendiri. Seperti ribuan telinga yang ikhlas terpasang, walau dia tahu bahwa hanya batu, rerumputan dan telaga yang rela berbagi ruang dan kerinduan.
“Oh Hyang Widhi, sungguh hidup hanyalah seuntai rambut , yang memanjang , tipis kemudian terserabut. Oh Dewa yang Agung, dimanakah kau sembunyikan keabadian dan keadilan? Aku hambamu yang malang ini, tak kuasa memetik gemintang. Hanya sunyi yang merangkulku tiap malam. Malam kerap datang tanpa bayang, malam yang menjadi suami sekaligus juga anakku.”
Wanita berambut legam. Mulai berbisik pada kunang – kunang. Dari bibirnya teruntai kisah. Sebuah desa yang dikutuk langit, sebuah desa yang dulu sempat memupuknya menjadi bunga. Desa Sidhi Ucap.
“Pratni, cepat kau petik dan rangkai bunga - bunga ini sebelum layu dan lapuk. Ingat jangan sampai ada kelopak yang terbuang, semua itu uang?” ujar sang Nini kepada cucu semata wayangnya. Luh Pratni memiliki mata bercahaya dan rambutnya legam. Usianya baru belasan saat itu, namun ia telah menjadi bunga para kumbang desa. Ialah yang kerap memekarkan bunga, mewarnai langit dengan pelangi, menyapu angkasa dengan senja, dan menyemai bintang – bintang malam untuk dipersembahkan kepada penduduk desa. Burung - burung bernyanyi karenanya. Ikan dan rerumputan menari untuknya. Penduduk desa yakin dan percaya bahwa dimanapun Luh Pratni berada, segala kemurungan akan sirna. Segala kegundahan akan terobati. Di sebuah gubuk kecil di ujung desa itulah, sang Nini dan Luh Pratni tinggal. Tidak seperti penduduk lain yang kebanyakan bertani, mereka mempertahankan hidup dari menjual bunga. Tentunya bunga yang dipelihara dengan cinta, walau bunga hutan sekalipun akan memancarkan cahaya. Di tangan Luh Pratni , bunga yang hampir mati terselamatkan. Di tangan Luh Pratni, rumput yang merana merasa bahagia.
---
Suatu sore yang tak biasa, penduduk desa resah. Wabah penyakit datang. Bayi – bayi menguning dan kaku. Para manula tersumbat nafasnya. Para pejabat desa, ibu – ibu rumah tangga , dan lelaki sawah bergumam bahwa dewa telah murka seperti yang telah diramalkan sang Nini. Sudah berpuluh tahun Nininya itu mengoceh tentang bencana yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Diramalkannya kengerian yang melanda. Kelaparan, kematian, dan bencana tiada henti. Tak ada yang percaya ocehan sang Nini. Penduduk desa mulai gerah akan ocehannya hingga mereka berdua dikucilkan dan terbuang di ujung telaga di antara bunga – bunga liar.
Kini wabah misterius telah di depan mata. Semua kekuatan magis telah dikerahkan, namun tak kunjung meredakan kengerian. Tiga hari lalu, seorang ibu tercekik di sumur pemandian desa , tepat dua hari setelah tiga orang laki – laki ditemukan hanyut di parit dengan luka menganga di leher. Juga baru siang tadi, bayi kecil kepala desa ditemukan terbujur kaku. Tubuhnya kuning membiru. Dukun – dukun desa tetangga berdatangan, hendak menolong. Mereka merapal mantra dan doa. Namun tak satu orang pun berhasil. Mereka malah raib tertelan bumi.
Bukit Munduk, mungkin itulah muara malapetaka ini. Sudah menjadi dongeng turun temurun bahwa di bukit itu tertanam rahasia, yang setiap lidah tak mampu bercerita. Akankah ada kaitan antara Nini sang pengoceh dengan bukit itu? Apakah setiap korban yang berjatuhan adalah tumbal ? Sungguh tak ada yang tahu. Yang tertinggal hanyalah kesunyian menggila. Sang Nini terlihat berkeringat. Matanya liar menari dan bibirnya mengoceh tak berhenti. “ Ayo bakar dupa, bencana akan datang. Ini peringatan!” Sang Nini yang diambang ketidaksadaran terengah – engah, seperti baru mendaki gunung Agung. Seperti biasa Luh Pratni bergegas merebus air hangat, membubuhkan boreh agar Nininya sedikit tertolong.
Bertahun – tahun sang Nini mengoceh, namun tak satu pun penduduk desa mau percaya. Mereka menutup telinga rapat – rapat. Membungkam ingatan dan membiarkan keadaan berlalu begitu saja. Toh, tak terjadi apa – apa seperti yang diramalkan sang Nini. Bahwa malapetaka akan datang. Bahwa kegelapan akan mengarungi desa. Keadaan baik – baik saja. Pasar tetap saja ramai dan segala kegiatan warga berjalan seperti sedia kala. Namun kali ini berbeda. Seminggu lalu, dua keluarga berduka karena anak - anak mereka terjerat tali layangan bebe yang mereka patok sendiri di halaman rumah. Empat hari sebelumnya seorang lelaki berperut buncit, terpenggal kepalanya sehabis menonton layar tancap. Ususnya terburai. Celananya penuh darah.
Senja merayap cepat. Gelap mengintai menyergap desa yang kini berduka. Akankah ini ramalan sang Nini ? Inikah bencana yang sering ia ocehkan? Warga bersikeras tidak mau percaya, namun mereka tak sanggup menipu diri, bahwa mayat – mayat telah menggunung, bahwa darah menggenang dimana-mana , di parit, di sumur, di selokan, di kendi – kendi tempat air minum dan di mata yang liar , yang takut maut menjemput. Saat ini penduduk desa berkumpul, ramai berdebat. Sebuah keresahan masal yang akhirnya berujung pada keputusan bulat. Luh Pratni dan Nininya harus diusir. Mereka dibuang ke utara, menjauh dari Bukit Munduk. Di sebuah telaga yang jarang dijamah. Telaga yang terlentang malas berbincang.
Namun anehnya, selepas kepergian Luh Pratni dan Nininya, wabah penyakit di desa itu tak kunjung sirna. Malapetaka mengintip di setiap dinding rumah, di setiap nafas yang dihembuskan, disetiap keringat yang bertetesan. Mata penduduk meliar, berkilat tajam, menusuk. Sesungguhnya mereka amat letih. Bermain petak umpet dengan pisau dewa maut. Tubuh mereka mengurus drastis, tinggal tulang dan kecemasan yang maha hebat. Dari jarak bermil – mil, mereka membawa obor menuju ujung telaga, kediaman Nini dan Luh Pratni.
“ Hai Nenek busuk, keluarlah kau dari gubuk reyotmu itu. Atau akan kami bakar sekarang juga!”
“ Lihat apa yang kau lakukan? Kami kehilangan anak – anak kami, juga istri dan suami suami kami!”
Dengan paksa mereka mendobrak pintu gubuk sang Nini. Luh Pratni yang masih belia menangis ketakukan. Sang Nini terperangah. Tangan – tangan kasar menjambak rambut putihnya. Mendorong tubuh rentanya tersungkur di halaman.
“ Hai Nini Bangsat, lihat karena ocehanmu bertahun – tahun, desa ini jadi benar - benar tertimpa bencana. Kau harus bertanggung jawab. Cepat potong lidahnya!”
Secara membabi buta, mereka memegang tangan dan kaki sang Nini yang meronta – ronta dan tak henti mengoceh,” Ini kutukan! Cepatlah kalian bakar dupa. Sungguh ini kutukan!” Namun tak ada yang mendengar. Mereka beramai - ramai memotong lidah Nini Luh Pratni, hingga putus mengenaskan. Lidah yang dianggap sumber malapetaka. Lidah yang meresahkan warga selama bertahun – tahun. Lidah yang karena ucapannya, kengerian melanda desa. Lidah itu kini telah terpotong. Habis.
Luh Pratni yang masih belia, bersimbah darah memeluk Nininya yang tersengal-sengal menahan perih. Penduduk merasa puas. Mereka seakan terbebas dari maut. Beberapa diantara mereka menggelar pesta kegembiraan atas berakhirnya drama menakutkan yang menghantui hidup mereka selama beberapa tahun ini. Beberapa hari setelah tragedi itu, sang Nini meninggal dunia. Luh Pratni sungguh terguncang. Tak ada lagi kupu - kupu di matanya. Senyum mungil yang dulu bertabur di wajahnya sirna. Dia mengubur sang Nini tepat di ujung telaga. Ditanaminya bunga liar. Luh Pratni yang masih kecil menjelma dewasa. Dia tahu bahwa apa yang diocehkan Nininya adalah kebenaran. Dia mengerti situasi dimana penduduk desa bertabiat aneh. Para wanitanya gemar bergunjing dan melakukan seks bebas dengan binatang. Sedangkan para lelaki tua sibuk menegak tuak , menghisap payudara anak – anak gadis , merampas hak orang lain, berjudi dan juga korupsi. Anak - anak lelaki gemar sabung ayam dan tiduri wanita setengah baya yang ditinggal suami – suami berjudi. Perzinahan dan pencurian dimana - mana. Bukit Munduklah tempat mereka melakukan aborsi. Mereka buta. Tak ada yang membakar dupa. Tak ada pura. Hati yang gelap gulita.
Dan malam itu, Luh Pratni memegang keranjang. Memetik bunga hutan dan rerumputan. Bergumam lirih kepada kunang – kunang. Matanya menetes mengalun, diiringi nafasnya yang berat mengayun. Di atas gundukan tanah di ujung telaga, ia rangkai bunga dan cinta. Matanya yang legam adalah misteri malam. Sejak sang Nini meninggal, Desa Sidhi Ucap menjadi sunyi. Tak ada lagi kengerian. Penduduk desa berwajah muram. Mata mereka hampa. Tak ada yang bicara. Lidah mereka semua, terpotong habis.
Moch Satrio Welang. Penulis muda yang kini menetap di Bali. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media yang terbit di Indonesia. Mengelola Komunitas Sastra Welang di Denpasar.