Rabu, 20 Oktober 2010

Absynthe Edisi #2: PUISI

Di Kampung Naga
Zulkifli Songyanan

Dari tangga yang menghubungkan
Keluhuran nama dan kerendahan hatimu,
Aku masih memaksakan senyum sambil berusaha
Menggali segala rahasia yang kautimbun
Di balik atap-atap rumbia.

Aku berlari kemudian kulucuti semua kata
Yang ditawan ketidakpastian. Akar-akar pohon
Menjuntai di selatan, gelisahku pecah dan menjelma
Batu-batu yang sabar disengat matahari
Batu-batu yang tegar diseret arus kali.

Kampung Naga, di lesung pipimu seorang gadis manis
Menganyam bambu dengan harapan ia bisa memindahkan
Kota ke matanya. Aku cemburu. Kucuri pohon-pohon rimbun
Dan kusembunyikan dalam batinku.
Barangkali keteduhan akan tumbuh di situ.

Siang makin menyala dan aku sedikit lebih gila.
Kusaksikan ibu-ibu perkasa menggendong mimpi
Di pundaknya, sedang para lelaki memikul hasil panen
Entah ke mana. Aku termenung memahami hakikat kesederhanaan
Yang masih bernyawa di sini.                                

2007

Sajak Kemarin
Pringadi Abdi Surya

Kemarin ingin membunuhku. Kemarin mengendap-endap di atas atap. Kemarin menyamar jadi bayang bulan. Kemarin mengetuk pintu, "Selamat Malam, Bapak Pringadi, Anda belum tidur juga?" ucapnya sambil menodongku dengan sebuah pistol.

Aku kebal senjata, kecuali garpu. Aku takut garpu. Aku takut meja makan. Aku takut sepiring tenderloin. Aku takut bau kokain. Tapi, aku tidak takut pistol. Aku tidak takut bom. Aku tidak takut nuklir. Setiap hari aku makan nuklir di kolong tempat tidur. Setiap hari aku minum bensin di kamar mandi. Bensin yang ngalir dari kran itu, kecuali darah. Aku tidak mau gosok gigi dengan darah.

Kemarin diam saja. Mungkin kehabisan ide. Aku bawakan kertas dengan pensil. Ia miminta sepasang bolpoint. Ia mendongku dengan bolpoint. "Selamat Malam, Bapak Pringadi, tolong tandatangani kematian Anda di sini?" Aku lupa caranya tanda tangan. Aku menawarkan cap jempol. Aku menawarkan kecupan bibir. Aku menawarkan seks kertas lima menit saja.

Aku buka baju buka celana buka lemari yang menyimpan kelaminku tetapi kosong aku cari di laci baru ketemu dan kupasang pada tempatnya. Sepertinya kemarin kebingungan. Aku ambil kesempatan menembakkan pistol itu ke wajahnya yang ditutup-tutupi.

Kemarin mati. Aku membunuh kemarin. Wajahnya aku kenali. Aku.
  
Agrabah
Eko Putra

aku datang jasmine tanpa mahkota pangeran, tanpa kuda, , tanpa pundi-pundi berlian untuk meyakinkan perkara cinta yang menyebelah

di kotamu, aku tak merasa sebagai orang asing untuk bermalam, engkau tahu itu

jasmine, udara telah karam di sebilah tembok, tapi angin tak mungkin sampai merobek isi hati

aku bukan penyihir kesal itu, tapi penyair yang datang dengan hati ungu

mencintaimu adalah maklumat yang tak mampu kulenyapkan seperti api yang padam tak terhantarkan


Zulkifli Songyanan, lahir di Tasikmalaya 02 Juni 1990. Tercatat sebagai mahasiswa program studi Manajemen Pemasaran Pariwisata, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Bergiat bersama Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI.

Pringadi Abdi Surya. Palembang, 18 Agustus 1988. Duta Bahasa Prov Sumatera Selatan ini pernah masuk dalam antologi Kepada Cinta (Gagasmedia, 2009), Kumpulan Puisi Alusi (Pustakapujangga, 2009), Batam Pos, Global Medan, Koran Jambi dan di media siber seperti di kompas.com, kabarindonesia.com, kemudian.com, kolomkita.com, dan fesbuk tentunya. Tengah menyiapkan kumcernya.

Eko Putra, lahir Juni 1990 di Sumatera Selatan. Menulis puisi sejak duduk di bangku sekolah. Sejak medio 2009 terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai seorang pejabat desa. Puisi-puisinya dipublikasikan di sejumlah antologi dan media massa yang terbit di Indonesia. Buku kumpulan puisinya yang sudah terbit: Musi yang Manis Kekasihku (Bejana, 2010)

Absynthe Edisi #2: ESEI

Kebebasan Publikasi, Tantangan Berbahaya
Y. Thendra BP

 
“Penyair muda sepertinya berpikir yang dibutuhkan adalah mesin tik dan beberapa potong kertas. Mereka tidak siap, mereka tidak memiliki persiapan sama sekali.”

Begitulah ucapan Charles Bukowski—dikutip dari Hot Water Music, 1995—penyair Beat Generation gelombang ke dua, yang terkenal karena vitalitasnya bertahan hidup dan peminum berat di masyarakat pinggiran. Sebelum memulai karirnya sebagai penyair, Bukowski bekerja dalam pekerjaan kasar dan jurnalis di Harlequin. Dia digambarkan oleh Jean Genet dan Jean-Paul Sartre sebagai penyair Amerika terbesar.

Setelah lulus dari Los Angeles High School, Bukowski belajar selama setahun di Los Angeles City College, mengambil kursus jurnalistik dan sastra. Dia meninggalkan rumah pada tahun 1941 –ayahnya telah membaca cerita-ceritanya dan melemparkan barang-barang miliknya ke halaman. Ia pernah bekerja di pom bensin, operator lift, sopir truk, buruh pabrik biskuit, dan di kantor pos. Pada usia tiga puluh lima dia mulai menulis puisi.
Melihat perjalanan hidup Bukowski, agaknya bisa membantah pameo antara aktor dan penyair yang ditulis oleh Boleslawski dalam buku Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor (terjemahan Asrul Sani)—aktor dan penyair datang ke sebuah pertunjukan teater, di depan gedung teater mereka melihat pengemis yang sangat menyedihkan, penyair berhasrat menuliskan puisi untuk menggambarkan pengemis itu, sedangkan si aktor tak perlu melakukan apa-apa karena ia ‘merasa’ sudah menjadi pengemis itu, atau dengan kata lain sindiran halus bahwa aktor memiliki empati ‘lebih’ daripada penyair. Benarkah klaim Boleslawski itu? Belum tentu. Sangat belum tentu.

Empati bisa digali dari pengalaman bersentuhan langsung dengan kehidupan, dan itu telah memberi ‘kekuatan’ pada puisi Bukowski. Dimana Bukowski mengaku, 93 persen puisinya adalah otobiografi. Puisinya sangat dipengaruhi oleh keadaan kota tempat tinggalnya. Selain itu, ia juga menulis cerita pendek dan novel.

Secara intrinsik dan ekstrinsik karya Bukowski juga bisa membantah apa yang ditulis oleh ‘manusia hotel’ Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah: penulis yang tak pernah kena sengatan sinar matahari.

Bisakah spirit dan pergulatan Charles Bukowski ‘memasuki hidup' yang diretrospeksikannya dalam puisi itu, misalnya, ditemukan pada puisi generasi muda sekarang—yang barangkali adalah Poets Society yang datang dari masa depan—bahwa menulis puisi, khususnya otobiografi maupun liris, bukan sesuatu ‘seolah-olah’ atau khayalan semata, tapi berangkat dari empiris, tak terpisah dari kehidupan (lingkungan), dan tak cuma mengandalkan pada bakat alam. Apalagi, kecenderungan puisi generasi sekarang banyak bermain pada ranah otobiografi dan lirisme.
***

Publikasi yang terbuka luas sekarang ini (koran, majalah, buletin, buku, milis, web, blog, facebook, twitter) dan mulai runtuhnya pusat kekuasaan sastra yang kerjanya cuma membaptis kepenyairan seseorang secara arsesif, adalah sebuah kemenangan masa sekaligus tantangan yang berbahaya, yang dimiliki penyair muda!

Pada ruang cyber, dibandingkan media publikasi konvensional (cetak), puisi hadir di publik tidak lagi setelah melalui tangan yang lain, yang masing-masing pemilik tangan tersebut, tentu memiliki selera berbeda-beda.

Namun kebebasan itu, sesungguhnya meminta pertanggungjawaban lebih, agar puisi tidak sekadar kecanggihan bermain bahasa, mengindah-indahkan bahasa (bahasa itu sudah indah!) dan produksi teks dari mesin (komputer) semata. Hal ini juga menjangkiti beberapa penyair yang konon sudah senior. Kegenitan publikasi di media cetak pun cyber, kadang tak ubahnya seperti status di facebook dan twitter, berisi persoalan pribadi yang seolah-olah menyangkut hajat orang banyak.

Wilayah domestik, ruang pribadi, bilik dalam, yang tak menyangkut hajat orang banyak itu tanpa ‘diolah’ tapi tetap dipublikasikan, mengingatkan kita pada infoitament. Lebih mengejar sensasi yang banal. Adakah Selebritis Syndrom juga tengah merasuk dalam sastra kita?

Jika kritik pingsan, jurusan sastra Indonesia mandul, sudah sepatutnya penyair membikin perhitungan habis-habisan dengan puisinya, sebelum puisinya itu melangkah bergelanggang mata orang banyak, bertemu pembaca aktif maupun pasif. Sebagaimana dokter, penyair juga profesi yang menuntut keseriusan dan tanggungjawab agar tidak terjadi malpraktek terhadap karyanya.

Puisi adalah dunia yang menjadi, tulis Chairil Anwar. Bagaimana puisi bisa menjadi ‘dunia yang menjadi’? Inilah tantangan terberat bagi penyair, sesungguhnya. Bukan berapa sering dimuat di media. Lalu berharap dapat undangan resepsi sastra. Apalah guna ikut 'pesta satra' itu, jika cuma ibarat mentimun bungkuk yang masuk karung tapi tak masuk hitungan. Jadi tukuk tambah.

Dan apabila puisi menjadi ‘dunia yang menjadi’ itu, agaknya, kita bakal bertemu apa yang disampaikan Konfusius: “Tidak belajar sajak, tidak ada yang bisa dibicarakan.”

Li Po, Jalaludin Rumi, Matsuo Basho, William Shakespeare, Arthur Rimbaud, Rainer Maria Rilke, TS Eliot, Pablo Neruda, menyebut beberapa nama yang cukup familiar di publik sastra kita misalnya, ketika kita membaca puisi mereka, secara diam-diam puisi mereka menyusup ke dalam memori intim, membuat ingatan bersama. Pengalaman penyair, pengalaman pembaca juga.

Bahkan, puisi bisa menjadi spirit bagi zamannya. Allen Ginsberg, lewat puisinya, turut memberi warna pada gerakan Beat Generation di Amerika Serikat tahun 1950-an. Wiji Tukul, penyair cum aktivis asal Solo yang hingga sekarang tidak diketahui keberadaannya, puisinya “Hanya Ada Satu Kata: Lawan! “ Diteriakkan lantang dan jadi simbol perlawanan terhadap rezim Orde Baru oleh mahasiswa pergerakan, hingga runtuhnya rezim para jenderal itu pada tahun 1998.

Pun Chairil Anwar, yang memberi kontribusi terhadap perkembangan puisi modern dan bahasa Indonesia. Meski berusia pendek, ia hanya mempublikasikan sekitar 77 puisi saja, namun bukan kuantitas yang menjadi tolak ukur, melainkan kualitas. Toh, karya seni bukan seperti barang kerajinan yang berorientasi pasar semata (media).

Yang pasti, masa depan perpuisian Indonesia terletak di tangan penyair muda yang berani melawan ucapan Bukowski di awal tulisan ini. Tentu saja dengan “memiliki persiapan” dalam puisi yang mereka ciptakan. Dan karya bukan sekadar produksi teks dari mesin (komputer), tapi teks yang bersumber dari kehidupan.



Y. Thendra BP, berasal dari Nagari Padang Sibusuk, Sumatera Barat. Lahir di Bangkinang 10 Mei 1980-an. Tuhan, telpon aku dong (Gambala Media, 2004) adalah buku kumpulan puisi tunggal pertamanya. Saat ini ia bekerja sebagai jurnalis.


Absynthe Edisi #2: CERPEN

Nini Sang Pengoceh
 Moch Satrio Welang

Desa Sidhi Ucap seperti mati. Tak ada seorang pun yang bisa ditemui. Tak ada tawa anak - anak yang bermain senja. Tak juga canda gadis – gadis sungai yang kerap menggema di lereng gunung. Desa Sidhi Ucap benar -benar mati. Bungkam.  Seperti biasa senja bergegas lepas karena malam datang lekas. Pepohonan pun seraya mengerti, tak hendak menggemerisikkan daun, bersujud pada alam yang sedang berduka. 

Beberapa mil di utara, sedikit meninggalkan desa, sebuah telaga terbaring tenang di keremangan malam. Sesosok perempuan terduduk, bersenandung lirih, pedih. Ia sendiri. Usianya baru tiga puluh tahun, namun gurat wajah yang lelah tak mampu bersembunyi atau lari. Tangan kanannya membawa keranjang berisi bunga hutan, juga alang alang. Beberapa tanaman obat dan sedikit umbi – umbian. Perempuan yang bersenandung lirih, matanya menerawang ke ujung pepohonan dimana angan - angan bersarang. Ia senandungkan nada yang tak teratur, kadang meninggi dan begitu tipis. Sinis. Sisanya menyayat. Adakah malam ini seseorang datang, menjamah tubuhnya, memintal rambutnya dan jelajahi tiap inci matanya yang  tampak hitam legam. Muram. Sesekali ia mengambil kerikil kecil dan melemparnya ringan ke telaga. Genangannya merambat, melebar, semakin jauh kemudian lenyap. 

Perempuan di ujung telaga dengan mata legamnya, juga bibir keringnya, mendongeng lirih. Perlahan ia arungi ruang tergelap dalam ingatannya. Dan mulai bercerita sendiri. Seperti ribuan telinga yang ikhlas terpasang, walau dia tahu bahwa hanya batu, rerumputan dan telaga yang rela berbagi ruang dan kerinduan. 

“Oh Hyang Widhi, sungguh hidup hanyalah seuntai rambut , yang memanjang , tipis kemudian terserabut. Oh Dewa yang Agung, dimanakah kau sembunyikan keabadian dan keadilan? Aku hambamu yang malang ini, tak kuasa memetik gemintang. Hanya sunyi yang merangkulku tiap malam. Malam kerap datang tanpa bayang, malam yang menjadi suami sekaligus juga anakku.”

Wanita berambut  legam. Mulai berbisik pada kunang – kunang. Dari bibirnya teruntai  kisah.  Sebuah desa yang dikutuk langit, sebuah desa yang dulu sempat memupuknya menjadi bunga. Desa Sidhi Ucap.

“Pratni, cepat kau petik dan rangkai bunga - bunga ini sebelum layu dan lapuk. Ingat jangan sampai ada kelopak yang terbuang, semua itu uang?” ujar sang Nini kepada cucu semata wayangnya. Luh Pratni memiliki ‎​​‎mata bercahaya dan rambutnya legam. Usianya baru belasan saat itu, namun ia telah menjadi bunga para kumbang desa. Ialah yang  kerap memekarkan bunga, mewarnai langit dengan pelangi, menyapu angkasa dengan senja, dan menyemai bintang – bintang malam untuk dipersembahkan kepada penduduk desa. Burung - burung bernyanyi karenanya. Ikan dan rerumputan menari untuknya. Penduduk desa yakin dan percaya bahwa dimanapun Luh Pratni berada, segala kemurungan akan sirna. Segala kegundahan akan terobati.  Di sebuah gubuk kecil di ujung desa itulah, sang Nini dan Luh Pratni tinggal. Tidak seperti penduduk lain yang kebanyakan bertani, mereka mempertahankan hidup dari menjual bunga. Tentunya bunga yang dipelihara dengan cinta, walau bunga hutan sekalipun akan memancarkan cahaya. Di tangan Luh Pratni , bunga yang hampir mati terselamatkan. Di tangan Luh Pratni, rumput yang merana merasa bahagia. 

--- 

Suatu sore yang tak biasa, penduduk desa resah. Wabah penyakit datang. Bayi – bayi menguning dan kaku. Para manula tersumbat nafasnya. Para pejabat desa, ibu – ibu rumah tangga , dan lelaki sawah bergumam bahwa dewa telah murka seperti yang telah diramalkan sang  Nini. Sudah berpuluh tahun  Nininya itu mengoceh tentang bencana yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Diramalkannya  kengerian yang melanda. Kelaparan, kematian, dan bencana tiada henti. Tak ada yang percaya ocehan sang Nini. Penduduk desa mulai gerah akan ocehannya hingga mereka berdua dikucilkan dan terbuang di ujung telaga di antara bunga – bunga liar. 

Kini wabah misterius telah di depan mata. Semua kekuatan magis telah dikerahkan, namun tak kunjung meredakan kengerian. Tiga hari lalu, seorang ibu tercekik di sumur pemandian desa , tepat dua hari setelah tiga orang laki – laki ditemukan hanyut di parit dengan luka menganga di leher. Juga baru  siang tadi, bayi kecil kepala desa ditemukan terbujur kaku. Tubuhnya kuning membiru. Dukun – dukun desa tetangga berdatangan, hendak menolong. Mereka merapal mantra dan doa. Namun tak satu orang pun berhasil. Mereka malah raib tertelan bumi. 

Bukit Munduk, mungkin itulah muara malapetaka ini. Sudah menjadi dongeng turun temurun bahwa di bukit itu tertanam rahasia, yang setiap lidah tak mampu bercerita. Akankah ada kaitan antara Nini sang pengoceh dengan bukit itu? Apakah setiap korban yang berjatuhan adalah tumbal ? Sungguh tak ada yang tahu. Yang tertinggal hanyalah kesunyian menggila. Sang Nini terlihat berkeringat. Matanya liar menari dan bibirnya mengoceh tak berhenti. “ Ayo bakar dupa, bencana akan datang. Ini peringatan!” Sang Nini yang diambang ketidaksadaran terengah – engah, seperti baru mendaki gunung Agung. Seperti biasa Luh Pratni bergegas merebus air hangat, membubuhkan boreh agar Nininya sedikit tertolong.
Bertahun – tahun sang Nini mengoceh, namun tak satu pun penduduk desa mau percaya. Mereka menutup telinga rapat – rapat. Membungkam ingatan dan membiarkan keadaan berlalu begitu saja. Toh, tak terjadi apa – apa seperti yang diramalkan sang Nini. Bahwa malapetaka akan datang. Bahwa kegelapan akan mengarungi desa. Keadaan baik – baik saja. Pasar tetap saja ramai dan segala kegiatan warga berjalan seperti sedia kala. Namun kali ini berbeda. Seminggu lalu, dua keluarga berduka karena anak - anak mereka terjerat tali layangan bebe yang mereka patok sendiri di halaman rumah. Empat hari sebelumnya seorang lelaki berperut buncit, terpenggal kepalanya sehabis menonton layar tancap. Ususnya terburai. Celananya penuh darah.

Senja merayap cepat. Gelap mengintai menyergap desa yang kini berduka. Akankah ini ramalan sang Nini ? Inikah bencana yang sering ia ocehkan? Warga bersikeras tidak mau percaya, namun mereka tak sanggup menipu diri, bahwa mayat – mayat telah menggunung, bahwa darah menggenang dimana-mana , di parit, di sumur, di selokan, di kendi – kendi tempat air minum dan di mata yang liar , yang takut maut menjemput. Saat ini penduduk desa berkumpul, ramai berdebat. Sebuah keresahan masal yang akhirnya berujung pada keputusan bulat. Luh Pratni dan Nininya harus diusir. Mereka dibuang ke utara, menjauh dari Bukit Munduk. Di sebuah telaga yang jarang dijamah. Telaga yang terlentang malas berbincang. 

Namun anehnya, selepas kepergian Luh Pratni dan Nininya, wabah penyakit di desa itu tak kunjung sirna. Malapetaka mengintip di setiap dinding rumah, di setiap nafas yang dihembuskan, disetiap keringat yang bertetesan. Mata penduduk meliar, berkilat tajam, menusuk. Sesungguhnya mereka amat letih. Bermain petak umpet dengan pisau dewa maut. Tubuh mereka mengurus drastis, tinggal tulang dan kecemasan yang maha hebat. Dari jarak bermil – mil, mereka membawa obor menuju ujung telaga, kediaman Nini dan Luh  Pratni. 

“ Hai Nenek busuk, keluarlah kau dari gubuk reyotmu itu. Atau akan kami bakar sekarang juga!”

“ Lihat apa yang kau lakukan? Kami kehilangan anak – anak kami, juga istri dan suami suami kami!”

Dengan paksa mereka mendobrak pintu gubuk sang Nini. Luh Pratni yang masih belia menangis ketakukan. Sang Nini terperangah. Tangan – tangan kasar menjambak rambut putihnya. Mendorong tubuh rentanya tersungkur di halaman.

 “ Hai Nini Bangsat, lihat karena ocehanmu bertahun – tahun, desa ini jadi benar - benar tertimpa bencana. Kau harus bertanggung jawab. Cepat potong lidahnya!”

Secara membabi buta, mereka memegang tangan dan kaki sang Nini yang meronta – ronta dan tak henti mengoceh,” Ini kutukan! Cepatlah kalian bakar dupa. Sungguh ini kutukan!” Namun tak ada yang mendengar. Mereka beramai - ramai memotong lidah Nini Luh Pratni, hingga putus mengenaskan. Lidah yang dianggap sumber malapetaka. Lidah yang meresahkan warga selama bertahun – tahun. Lidah yang karena ucapannya, kengerian melanda desa. Lidah itu kini telah terpotong. Habis. 

Luh Pratni yang masih belia, bersimbah darah memeluk Nininya yang tersengal-sengal menahan perih. Penduduk merasa puas. Mereka seakan terbebas dari maut. Beberapa diantara mereka menggelar pesta kegembiraan atas berakhirnya drama menakutkan yang menghantui hidup mereka selama beberapa tahun ini. Beberapa hari setelah tragedi itu, sang Nini meninggal dunia. Luh Pratni sungguh terguncang. Tak ada lagi kupu - kupu di matanya. Senyum mungil yang dulu bertabur di wajahnya sirna.  Dia mengubur sang Nini tepat di ujung telaga. Ditanaminya bunga liar. Luh Pratni yang masih kecil menjelma dewasa. Dia tahu bahwa apa yang diocehkan Nininya adalah kebenaran. Dia mengerti situasi dimana penduduk desa bertabiat aneh. Para wanitanya gemar bergunjing dan melakukan seks bebas dengan binatang. Sedangkan para lelaki tua sibuk menegak tuak , menghisap payudara anak – anak gadis , merampas hak orang lain, berjudi dan juga korupsi. Anak - anak lelaki gemar  sabung ayam dan tiduri wanita setengah baya yang ditinggal suami – suami berjudi. Perzinahan dan pencurian dimana - mana. Bukit Munduklah tempat mereka melakukan aborsi. Mereka buta. Tak ada yang membakar dupa. Tak ada pura. Hati yang gelap gulita.

Dan malam itu, Luh Pratni memegang keranjang. Memetik bunga hutan dan rerumputan. Bergumam lirih kepada kunang – kunang. Matanya menetes mengalun, diiringi nafasnya yang berat mengayun. Di atas gundukan tanah di ujung telaga, ia rangkai bunga dan cinta. Matanya yang legam adalah misteri malam. Sejak sang Nini meninggal, Desa Sidhi Ucap menjadi sunyi. Tak ada lagi kengerian. Penduduk desa berwajah muram. Mata mereka hampa. Tak ada yang bicara. Lidah mereka semua, terpotong habis.


Moch Satrio Welang. Penulis muda yang kini menetap di Bali. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media yang terbit di Indonesia. Mengelola Komunitas Sastra Welang di Denpasar.

Absynthe Edisi #2: CERPEN

Deco-Genesis
Langgeng Prima Anggradinata

            Air surut setelah banjir merendam lebih dari tiga abad. Lambung sebuah perahu terdampar di sebuah bukit. Orang-orang turun satu persatu dari dek. Wajah mereka. Sulit menggambarkan wajah mereka.  Wajah mereka lelah dengan pipi yang tirus, mata yang tak menunjukan hidup, hidung yang malas menghirup harap, dan kantung mata yang nyaris jatuh. Begitu pula dengan binatang-binatang yang mereka bawa di perahu itu. Sebenarnya, mereka lebih memilih mati.

            Umur yang panjang telah dianugerahkan pada mereka. Sedang, tak ada satupun yang bertambah dari mereka sebagai anak-anak. Seorang lelaki tua masih di palka. Ia berdiri. Lantai perahu mengeratkan kakinya, seolah ia tak boleh beranjak darimanapun. Ia tak tahu harus berbuat apa. Sebagai pimpinan dari orang-orang itu, tentu ia harus memutuskan apa yang selanjutnya mereka perbuat. Tapi ia diam. Sementara, orang-orang telah berkumpul di pucuk bukit dan menoleh kepada lelaki tua itu. Lelaki tua itu juga menatap. Kemudian, ia turun juga dari palka perahu.

                Ia, lelaki tua itu naik sebuah batu koral besar di pucuk bukit. Ia mengacungkan tangannya, membangkitkan telunjuknya, mengarahkan pada langit. Dengan wajah yang percaya ia menunjuk langit yang terang. Orang-orang melihatnya aneh. Mata mereka memincing, masih tetap tertuju pada tubuh lelaki tua itu. Mereka tak melihat apa yang lelaki tua tunjuk. Tangan kurus yang menunjuk ke langit itu lambat-laun turun, seraya dengan wajah yang kembali redup.

            Ia, lelaki tua itu berjalan membelah kerumunan kelompoknya. Ia terseok-seok. Terdengar juga bunyi yang lahir dari batu yang saling membentur akibat kaki lelaki tua itu. Jalannya terserat-seret seolah sesuatu yang berat menariknya dari belakang. Orang-orang melihatnya, sebagian lagi menunduk. Kulit mereka kering mirip urat-urat bukit yang pias di kejauhan. Mereka tak lagi melihat lelaki tua itu tapi saling menatap satu sama lain. Juga tak saling bicara. Juga tak saling mengisyaratkan sesuatu selain perasaan paling musyrik dalam dirinya masing-masing. 

            Lelaki tua itu berhenti dan bersandar pada batu yang lain. Mengambil, menggenggam kerikil dan menjatuhkannya dengan alami. Angin membawa sebagian batu yang lebih ringan dan sebagian lagi yang lebih berat hanya terjatuh begitu saja dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia sudah lama tak bicara tapi sebenarnya sedang berbicara melalui tindak tanduknya yang sulit diterjemahkan. 

            Orang-orang itu kembali melihatnya aneh. Gerak dan gerat wajahnya seakan ingin meninggalkan lelaki tua itu. Perasaan besar tentang keputusasaan telah membawa mereka pada kematian. Tuhan tak berdiam lagi di rapuh dada mereka. Namun, lelaki tua itu masih saja percaya bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka pada sebuah bencana besar. Hanya mereka yang selamat. Sebab hanya mereka yang percaya pada Tuhan. Hanya mereka yang percaya pada Tuhan tepat tiga abad yang lalu. Hari ini, barangkali tidak untuk mereka. 

            Lelaki tua itu mengetuk lambung perahu yang berlumut. Mengetuk lambung itu untuk meyakinkan pada orang-orang  bahwa Tuhan masih menciptakan suara untuk mereka dengar. Kemudian, orang-orang menambah kerut dikeningnya membuat mereka menjadi lebih usia. Seseorang dari mereka menepuk bibirnya dan menunjuk lelaki tua itu. Ia mengisyaratkan mengapa lelaki tua itu tak bicara pada Tuhannya untuk memohon agar penderitaan lekas lepas.

            Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya hingga rambutnya yang jarang dan abu-abu itu terlepas barang empat helai dan jatuh kesebagaian tanah. Ia tetap tak mau bicara. Tak mungkin suaranya telah habis. Atau mungkin ia juga tak yakin. Tapi ia yakin bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka. Dan mereka adalah kaum yang beruntung. Kaum yang satu-satunya selamat atas bencana besar itu, meski kaumnya tak yakin bahwa mereka satu-satunya yang selamat sebab daratan lebih luas dari kepala mereka. Mereka yakin bahwa manusia lebih banyak dari debu yang mengerak di kulit mereka. 

Tapi lelaki tua itu tetap bersikukuh dengan keselamatan yang diberikan pada lelaki tua dan kaumnya itu. Dan itulah anugerah yang nilainya lebih dari sekedar umur mereka yang memanjang. Atau umur yang panjang adalah petaka bagi mereka!

**

            Sebuah kota kecil yang jauh. Bukit-bukit putih meriung kota itu. Dan langit melulu legam mirip malam. Jalan-jalan terbuat dari logam. Ada juga rumah-rumah berbentuk kubus. Ranting pohon terbuat dari kawat. Daunnya terbuat dari lempeng kaleng. Namun tetap berbuah dan tetap dapat disantap sebagai baterai. 

Orang-orang berbaju logam mirip kaleng sarden. Akurium kering tanpa air menutup kepala mereka. Sebuah tabung tersimpan di punggungnya masing-masing. Mereka mengambang seperti berenang. Tapi kadang berpijak. Tapi hanya sebentar kemudian kembali mengambang mirip jalan kanguru. Tapi juga tidak secepat itu. Sungguh lambat. Sungguh lambat gerak mereka.

Umur yang panjang telah dianugerahkan pada mereka. Mereka memiliki anak-anak yang kemudian dianggapnya sebagai keturunan. Anak-anak mereka terbuat dari kaleng tapi tak dapat bicara atau menangis. Mereka lebih mirip alat penanak nasi eleltronik atau kompor minyak. Juga, mereka tak bisa bergerak. Diam. Sungguh tak bergerak. Tapi sungguh, orang-orang tubuh kaleng sangat menyayangi mereka. Seseorang mengambang jauh lebih tinggi dari yang lain. Tangannya diangkat dan menunjuk sebuah benda dikejauhan. Sebuah planet. Bulat dan biru. Ada juga bercak hijau tapi nyaris kesemuanya biru.

Nyaris kesemuanya biru. Dahulu setelah mereka meninggalkan benda itu dan menetap di sana, mereka melihat planet itu berwarna biru seluruh tapi sedikit samar oleh bercak putih. Sekarang mereka melihat planet itu berbercak hijau. Barangkali, banjir mereda dan menciptakan daratan, mereka bicara itu dalam hati.

**

Lelaki tua itu kini duduk bersila di atas palka. Ia memanggil-manggil Tuhan dalam hatinya. Entah telah ribuan kali atau lebih ia melakukan itu. Kali ini, ia sungguh berkhusuk memahami Tuhannya. Amat meyakini Tuhan selalu bersamanya. Begitulah ia bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkannya, menyelamatkan mereka dan meyakini tak satupun selain mereka yang selamat.

 Sungguh lelaki tua itu kini duduk berdiam, sendiri. Ia mengasing dari orang-orang tapi sesungguhnya ia yang ditinggalkan oleh orang-orang itu. Orang-orang itu meninggalkan si lelaki tua. Mereka menyebar tanpa arah yang mereka yakini. Mereka hanya meyakini bahwa arah yang mereka tuju akan membuat mereka berubah. Barangkali, mereka tahu bahwa di arah itu kulit mereka akan menguning atau jauh lebih coklat. Di arah yang baru mata mereka akan menyipit atau berubah biru bola matanya. Di arah lain kelak rambut mereka akan bergelombang atau memirang. Dan kelak mereka akan berbicara dengan bahasa yang lain bahkan punya Tuhan masing-masing.

Lelaki tua itu telah membiarkan derit pintu yang bergerak, kibar bendera yang mengabarkan arah angin, dan gerak orang-orang yang mejauh di kejauhan. Ia sungguh tak peduli lagi dengan orang-orang yang tak percaya, dengan orang-orang yang menistakan dirinya sendiri. Matahari menyalakan kesunyian yang mendengung di daun telinga lelaki tua itu. Menerangkan betapa sendirinya ia. Kesendirian telah meyakinkan ia dengan Tuhan. Tuhan nyaris mendekat pada dirinya. Dan langit membuka segala jalan bagi dirinya untuk menuju Tuhan.

Lelaki tua itu telah membiarkan getir keringatnya jatuh ke dada dan meyakini bahwa keringatnya itu adalah Tuhan. Ia membiarkan angin kembali melepas rambutnya untuk kesekian sebagai bagian dari Tuhan. Dan angin semakin gemuruh. Angin memusing di lembah, di pusat bukit-bukit koral. Angin sebenarnya sedang menyapu matanya yang terpejam untuk segera membuka, untuk segera bangun dari tapanya yang angkuh. Debu dari sisik koral mengetuk kelopak matanya untuk terjaga.

Bunyi bising menggoyangkan daun telinganya. Kelopak matanya bergerak untuk segera membuka. Bunyi bising mengusik. Ia yang berada di palka bergetar saat membuka matanya. Ia mencium pupusnya kepercayaan yang teguh ia genggam berabad-abad. Sebuah kota melayang dan mendarat tepat di samping perahunya yang dulu kokoh dan sekarang koyak. Dadanya bergetar, sesungguhnya menangis juga. Orang-orang bertubuh kaleng terlihat melompat-lompat kegirangan. Lelaki tua itu tak percaya dan percaya atas dua hal yang saling beradu.

Ia beranjak. Entah ke arah mana. Ia percaya bahwa kepercayaannya telah pupus. Umur yang panjang hanya sekadar petaka. Hanya sekadar petaka. Dan ia tahu bahwa sebuah arah akan membuat kulitnya menguning atau lebih coklat. Ia percaya bahwa suatu arah akan membikin matanya menyipit atau membiru bola matanya. Di arah lain kelak rambutnya akan tumbuh dan berubah ikal atau menjadi pirang. Kelak ia akan berbicara dengan bahasa yang lain bahkan dengan Tuhan yang baru atau tidak sama sekali.***
Langgeng Prima Anggradinata Lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Komunitas Seni Rumah Akasia dan Arena Studi Apresiasi Sastra ASAS UPI sebagai ketua. Berapresiasi di beberapa SMA di Kota Bogor. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Puisi-puisinya dibukukan dalam antologi bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008) dan Menolak Lupa (Obsesi, 2010). Puisi, cerpen, dan artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Radar Banten, Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Radar Tasikmalaya, Global Media Medan dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media on-line (Anaksastra.blogspot.com, situseni.com, dan kompas.com).