Rabu, 20 Oktober 2010

Absynthe Edisi #2: CERPEN

Deco-Genesis
Langgeng Prima Anggradinata

            Air surut setelah banjir merendam lebih dari tiga abad. Lambung sebuah perahu terdampar di sebuah bukit. Orang-orang turun satu persatu dari dek. Wajah mereka. Sulit menggambarkan wajah mereka.  Wajah mereka lelah dengan pipi yang tirus, mata yang tak menunjukan hidup, hidung yang malas menghirup harap, dan kantung mata yang nyaris jatuh. Begitu pula dengan binatang-binatang yang mereka bawa di perahu itu. Sebenarnya, mereka lebih memilih mati.

            Umur yang panjang telah dianugerahkan pada mereka. Sedang, tak ada satupun yang bertambah dari mereka sebagai anak-anak. Seorang lelaki tua masih di palka. Ia berdiri. Lantai perahu mengeratkan kakinya, seolah ia tak boleh beranjak darimanapun. Ia tak tahu harus berbuat apa. Sebagai pimpinan dari orang-orang itu, tentu ia harus memutuskan apa yang selanjutnya mereka perbuat. Tapi ia diam. Sementara, orang-orang telah berkumpul di pucuk bukit dan menoleh kepada lelaki tua itu. Lelaki tua itu juga menatap. Kemudian, ia turun juga dari palka perahu.

                Ia, lelaki tua itu naik sebuah batu koral besar di pucuk bukit. Ia mengacungkan tangannya, membangkitkan telunjuknya, mengarahkan pada langit. Dengan wajah yang percaya ia menunjuk langit yang terang. Orang-orang melihatnya aneh. Mata mereka memincing, masih tetap tertuju pada tubuh lelaki tua itu. Mereka tak melihat apa yang lelaki tua tunjuk. Tangan kurus yang menunjuk ke langit itu lambat-laun turun, seraya dengan wajah yang kembali redup.

            Ia, lelaki tua itu berjalan membelah kerumunan kelompoknya. Ia terseok-seok. Terdengar juga bunyi yang lahir dari batu yang saling membentur akibat kaki lelaki tua itu. Jalannya terserat-seret seolah sesuatu yang berat menariknya dari belakang. Orang-orang melihatnya, sebagian lagi menunduk. Kulit mereka kering mirip urat-urat bukit yang pias di kejauhan. Mereka tak lagi melihat lelaki tua itu tapi saling menatap satu sama lain. Juga tak saling bicara. Juga tak saling mengisyaratkan sesuatu selain perasaan paling musyrik dalam dirinya masing-masing. 

            Lelaki tua itu berhenti dan bersandar pada batu yang lain. Mengambil, menggenggam kerikil dan menjatuhkannya dengan alami. Angin membawa sebagian batu yang lebih ringan dan sebagian lagi yang lebih berat hanya terjatuh begitu saja dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia sudah lama tak bicara tapi sebenarnya sedang berbicara melalui tindak tanduknya yang sulit diterjemahkan. 

            Orang-orang itu kembali melihatnya aneh. Gerak dan gerat wajahnya seakan ingin meninggalkan lelaki tua itu. Perasaan besar tentang keputusasaan telah membawa mereka pada kematian. Tuhan tak berdiam lagi di rapuh dada mereka. Namun, lelaki tua itu masih saja percaya bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka pada sebuah bencana besar. Hanya mereka yang selamat. Sebab hanya mereka yang percaya pada Tuhan. Hanya mereka yang percaya pada Tuhan tepat tiga abad yang lalu. Hari ini, barangkali tidak untuk mereka. 

            Lelaki tua itu mengetuk lambung perahu yang berlumut. Mengetuk lambung itu untuk meyakinkan pada orang-orang  bahwa Tuhan masih menciptakan suara untuk mereka dengar. Kemudian, orang-orang menambah kerut dikeningnya membuat mereka menjadi lebih usia. Seseorang dari mereka menepuk bibirnya dan menunjuk lelaki tua itu. Ia mengisyaratkan mengapa lelaki tua itu tak bicara pada Tuhannya untuk memohon agar penderitaan lekas lepas.

            Lelaki tua itu menggelengkan kepalanya hingga rambutnya yang jarang dan abu-abu itu terlepas barang empat helai dan jatuh kesebagaian tanah. Ia tetap tak mau bicara. Tak mungkin suaranya telah habis. Atau mungkin ia juga tak yakin. Tapi ia yakin bahwa Tuhan telah menyelamatkan mereka. Dan mereka adalah kaum yang beruntung. Kaum yang satu-satunya selamat atas bencana besar itu, meski kaumnya tak yakin bahwa mereka satu-satunya yang selamat sebab daratan lebih luas dari kepala mereka. Mereka yakin bahwa manusia lebih banyak dari debu yang mengerak di kulit mereka. 

Tapi lelaki tua itu tetap bersikukuh dengan keselamatan yang diberikan pada lelaki tua dan kaumnya itu. Dan itulah anugerah yang nilainya lebih dari sekedar umur mereka yang memanjang. Atau umur yang panjang adalah petaka bagi mereka!

**

            Sebuah kota kecil yang jauh. Bukit-bukit putih meriung kota itu. Dan langit melulu legam mirip malam. Jalan-jalan terbuat dari logam. Ada juga rumah-rumah berbentuk kubus. Ranting pohon terbuat dari kawat. Daunnya terbuat dari lempeng kaleng. Namun tetap berbuah dan tetap dapat disantap sebagai baterai. 

Orang-orang berbaju logam mirip kaleng sarden. Akurium kering tanpa air menutup kepala mereka. Sebuah tabung tersimpan di punggungnya masing-masing. Mereka mengambang seperti berenang. Tapi kadang berpijak. Tapi hanya sebentar kemudian kembali mengambang mirip jalan kanguru. Tapi juga tidak secepat itu. Sungguh lambat. Sungguh lambat gerak mereka.

Umur yang panjang telah dianugerahkan pada mereka. Mereka memiliki anak-anak yang kemudian dianggapnya sebagai keturunan. Anak-anak mereka terbuat dari kaleng tapi tak dapat bicara atau menangis. Mereka lebih mirip alat penanak nasi eleltronik atau kompor minyak. Juga, mereka tak bisa bergerak. Diam. Sungguh tak bergerak. Tapi sungguh, orang-orang tubuh kaleng sangat menyayangi mereka. Seseorang mengambang jauh lebih tinggi dari yang lain. Tangannya diangkat dan menunjuk sebuah benda dikejauhan. Sebuah planet. Bulat dan biru. Ada juga bercak hijau tapi nyaris kesemuanya biru.

Nyaris kesemuanya biru. Dahulu setelah mereka meninggalkan benda itu dan menetap di sana, mereka melihat planet itu berwarna biru seluruh tapi sedikit samar oleh bercak putih. Sekarang mereka melihat planet itu berbercak hijau. Barangkali, banjir mereda dan menciptakan daratan, mereka bicara itu dalam hati.

**

Lelaki tua itu kini duduk bersila di atas palka. Ia memanggil-manggil Tuhan dalam hatinya. Entah telah ribuan kali atau lebih ia melakukan itu. Kali ini, ia sungguh berkhusuk memahami Tuhannya. Amat meyakini Tuhan selalu bersamanya. Begitulah ia bersyukur pada Tuhan yang telah menyelamatkannya, menyelamatkan mereka dan meyakini tak satupun selain mereka yang selamat.

 Sungguh lelaki tua itu kini duduk berdiam, sendiri. Ia mengasing dari orang-orang tapi sesungguhnya ia yang ditinggalkan oleh orang-orang itu. Orang-orang itu meninggalkan si lelaki tua. Mereka menyebar tanpa arah yang mereka yakini. Mereka hanya meyakini bahwa arah yang mereka tuju akan membuat mereka berubah. Barangkali, mereka tahu bahwa di arah itu kulit mereka akan menguning atau jauh lebih coklat. Di arah yang baru mata mereka akan menyipit atau berubah biru bola matanya. Di arah lain kelak rambut mereka akan bergelombang atau memirang. Dan kelak mereka akan berbicara dengan bahasa yang lain bahkan punya Tuhan masing-masing.

Lelaki tua itu telah membiarkan derit pintu yang bergerak, kibar bendera yang mengabarkan arah angin, dan gerak orang-orang yang mejauh di kejauhan. Ia sungguh tak peduli lagi dengan orang-orang yang tak percaya, dengan orang-orang yang menistakan dirinya sendiri. Matahari menyalakan kesunyian yang mendengung di daun telinga lelaki tua itu. Menerangkan betapa sendirinya ia. Kesendirian telah meyakinkan ia dengan Tuhan. Tuhan nyaris mendekat pada dirinya. Dan langit membuka segala jalan bagi dirinya untuk menuju Tuhan.

Lelaki tua itu telah membiarkan getir keringatnya jatuh ke dada dan meyakini bahwa keringatnya itu adalah Tuhan. Ia membiarkan angin kembali melepas rambutnya untuk kesekian sebagai bagian dari Tuhan. Dan angin semakin gemuruh. Angin memusing di lembah, di pusat bukit-bukit koral. Angin sebenarnya sedang menyapu matanya yang terpejam untuk segera membuka, untuk segera bangun dari tapanya yang angkuh. Debu dari sisik koral mengetuk kelopak matanya untuk terjaga.

Bunyi bising menggoyangkan daun telinganya. Kelopak matanya bergerak untuk segera membuka. Bunyi bising mengusik. Ia yang berada di palka bergetar saat membuka matanya. Ia mencium pupusnya kepercayaan yang teguh ia genggam berabad-abad. Sebuah kota melayang dan mendarat tepat di samping perahunya yang dulu kokoh dan sekarang koyak. Dadanya bergetar, sesungguhnya menangis juga. Orang-orang bertubuh kaleng terlihat melompat-lompat kegirangan. Lelaki tua itu tak percaya dan percaya atas dua hal yang saling beradu.

Ia beranjak. Entah ke arah mana. Ia percaya bahwa kepercayaannya telah pupus. Umur yang panjang hanya sekadar petaka. Hanya sekadar petaka. Dan ia tahu bahwa sebuah arah akan membuat kulitnya menguning atau lebih coklat. Ia percaya bahwa suatu arah akan membikin matanya menyipit atau membiru bola matanya. Di arah lain kelak rambutnya akan tumbuh dan berubah ikal atau menjadi pirang. Kelak ia akan berbicara dengan bahasa yang lain bahkan dengan Tuhan yang baru atau tidak sama sekali.***
Langgeng Prima Anggradinata Lahir di Bogor, 6 Desember 1987. Bergiat di Komunitas Seni Rumah Akasia dan Arena Studi Apresiasi Sastra ASAS UPI sebagai ketua. Berapresiasi di beberapa SMA di Kota Bogor. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia. Puisi-puisinya dibukukan dalam antologi bersama Karnaval Kupu-kupu (Flash, 2008) dan Menolak Lupa (Obsesi, 2010). Puisi, cerpen, dan artikelnya juga dimuat di berbagai media massa (Radar Banten, Jurnal Bogor, Pikiran Rakyat, Padang Ekspres, Batam Pos, Tribun Jabar, Radar Tasikmalaya, Global Media Medan dan Jurnal Sastra RM, Bulletin Sastra Siluet) dan media on-line (Anaksastra.blogspot.com, situseni.com, dan kompas.com).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar