Rabu, 20 Oktober 2010

Absynthe Edisi #2: PUISI

Di Kampung Naga
Zulkifli Songyanan

Dari tangga yang menghubungkan
Keluhuran nama dan kerendahan hatimu,
Aku masih memaksakan senyum sambil berusaha
Menggali segala rahasia yang kautimbun
Di balik atap-atap rumbia.

Aku berlari kemudian kulucuti semua kata
Yang ditawan ketidakpastian. Akar-akar pohon
Menjuntai di selatan, gelisahku pecah dan menjelma
Batu-batu yang sabar disengat matahari
Batu-batu yang tegar diseret arus kali.

Kampung Naga, di lesung pipimu seorang gadis manis
Menganyam bambu dengan harapan ia bisa memindahkan
Kota ke matanya. Aku cemburu. Kucuri pohon-pohon rimbun
Dan kusembunyikan dalam batinku.
Barangkali keteduhan akan tumbuh di situ.

Siang makin menyala dan aku sedikit lebih gila.
Kusaksikan ibu-ibu perkasa menggendong mimpi
Di pundaknya, sedang para lelaki memikul hasil panen
Entah ke mana. Aku termenung memahami hakikat kesederhanaan
Yang masih bernyawa di sini.                                

2007

Sajak Kemarin
Pringadi Abdi Surya

Kemarin ingin membunuhku. Kemarin mengendap-endap di atas atap. Kemarin menyamar jadi bayang bulan. Kemarin mengetuk pintu, "Selamat Malam, Bapak Pringadi, Anda belum tidur juga?" ucapnya sambil menodongku dengan sebuah pistol.

Aku kebal senjata, kecuali garpu. Aku takut garpu. Aku takut meja makan. Aku takut sepiring tenderloin. Aku takut bau kokain. Tapi, aku tidak takut pistol. Aku tidak takut bom. Aku tidak takut nuklir. Setiap hari aku makan nuklir di kolong tempat tidur. Setiap hari aku minum bensin di kamar mandi. Bensin yang ngalir dari kran itu, kecuali darah. Aku tidak mau gosok gigi dengan darah.

Kemarin diam saja. Mungkin kehabisan ide. Aku bawakan kertas dengan pensil. Ia miminta sepasang bolpoint. Ia mendongku dengan bolpoint. "Selamat Malam, Bapak Pringadi, tolong tandatangani kematian Anda di sini?" Aku lupa caranya tanda tangan. Aku menawarkan cap jempol. Aku menawarkan kecupan bibir. Aku menawarkan seks kertas lima menit saja.

Aku buka baju buka celana buka lemari yang menyimpan kelaminku tetapi kosong aku cari di laci baru ketemu dan kupasang pada tempatnya. Sepertinya kemarin kebingungan. Aku ambil kesempatan menembakkan pistol itu ke wajahnya yang ditutup-tutupi.

Kemarin mati. Aku membunuh kemarin. Wajahnya aku kenali. Aku.
  
Agrabah
Eko Putra

aku datang jasmine tanpa mahkota pangeran, tanpa kuda, , tanpa pundi-pundi berlian untuk meyakinkan perkara cinta yang menyebelah

di kotamu, aku tak merasa sebagai orang asing untuk bermalam, engkau tahu itu

jasmine, udara telah karam di sebilah tembok, tapi angin tak mungkin sampai merobek isi hati

aku bukan penyihir kesal itu, tapi penyair yang datang dengan hati ungu

mencintaimu adalah maklumat yang tak mampu kulenyapkan seperti api yang padam tak terhantarkan


Zulkifli Songyanan, lahir di Tasikmalaya 02 Juni 1990. Tercatat sebagai mahasiswa program studi Manajemen Pemasaran Pariwisata, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Bergiat bersama Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS) UPI.

Pringadi Abdi Surya. Palembang, 18 Agustus 1988. Duta Bahasa Prov Sumatera Selatan ini pernah masuk dalam antologi Kepada Cinta (Gagasmedia, 2009), Kumpulan Puisi Alusi (Pustakapujangga, 2009), Batam Pos, Global Medan, Koran Jambi dan di media siber seperti di kompas.com, kabarindonesia.com, kemudian.com, kolomkita.com, dan fesbuk tentunya. Tengah menyiapkan kumcernya.

Eko Putra, lahir Juni 1990 di Sumatera Selatan. Menulis puisi sejak duduk di bangku sekolah. Sejak medio 2009 terjun ke tengah-tengah masyarakat sebagai seorang pejabat desa. Puisi-puisinya dipublikasikan di sejumlah antologi dan media massa yang terbit di Indonesia. Buku kumpulan puisinya yang sudah terbit: Musi yang Manis Kekasihku (Bejana, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar