Harta Warisan, Ruang Eksistensi dan Absynthe
Suatu kali, ketika bepergian via kereta ekonomi, saya membaca sebuah berita kriminal di surat kabar yang saya beli di sana. Diberitakan, tiga orang bersaudara membunuh kakak sulungnya. Saya bergidik. “Soal macam apa yang dapat menyebabkan anak-anak satu kandungan saling membunuh?” tanya saya dalam hati. Sepintas wajah Thomas Hobbes membayang dalam benak saya. Dengan suaranya yang kasar, berat dan dalam, hantu Hobbes itu berbisik, “Manusia adalah serigala bagi sesamanya! ‘Homo Homini Lupus.’”
“Tapi itu kan anda tulis ketika perang saudara terjadi di Inggris. Mungkin di sana dan saat itu pendapatmu relevan, namun peristiwa yang diberitakan ini terjadi di negeri yang subur makmur, Tuan Hobbes, Tidak ada scarcity atawa kelangkaan sumber daya yang bisa menyebabkan mereka baku-hantam. Bahkan, kata orang-orang tua dulu, di bumi kami ini, cukup lempar batu dan kayu—asal tak diarahkan ke rumah orang—bisa jadi tanaman.”
Kereta rongsok yang saya tumpangi berhenti, mempersilakan kereta lain yang lebih bagus dan mahal tarifnya jalan lebih dulu. Karena suara keriut rem tak dapat diredam, pecahlah lamunan saya, Hantu Hobbes hilang tak berbekas, padahal ia baru akan balik menanggapi. Saya pun kembali pada bacaan yang sempat saya tinggalkan gara-gara Hobbes.
Saudara-saudara, ternyata penyebab tragedi itu adalah harta warisan! Kakak tertua dari empat bersaudara itu menginginkan harta warisan tersebut seutuhnya, atau paling tidak bagian yang lebih besar ketimbang yang lain. Saya yakin mereka semua mengerti matematika dasar, ketika satu dibagi empat, seharusnya masing-masing akan mendapat bagian ¼ atau 0,25. Bukan 1. Namun ternyata, si sulung yang serakah ingin dapat 1, atau paling tidak ½ untuk dirinya sendiri karena ia menurutnya, sebagai anak tertua, ia pantas mendapat bagian terbanyak.
Kini saya tidak sedang berada di kereta ekonomi atau membaca berita kriminal atau terlibat kasus perdata. Saya sedang berusaha menulis tentang ruang eksistensi dalam sastra Indonesia. Lalu apa hubungannya dengan cerita di atas?
***
Eksistensi dan publikasi adalah dua hal yang berbeda, namun tak dapat dipisahkan. Publikasi—literer maupun non literer—mendatangkan eksistensi, dan eksistensi semakin lebar membuka ruang publikasi. Seorang penulis dan karyanya yang, misalnya, diklaim sebagai ‘pembaharu’ atau ‘memberontak terhadap konvensi masyarakat’ oleh pihak yang mempunyai otoritas akan dengan cepat meroket dan dapat tempat dalam ruang eksistensi. Entah dalam bentuk reputasi, popularitas atau yang lain. Lalu, dengan modal tersebut, pintu publikasi pun akan semakin terbuka untuknya. Bagi saya yang naif, hal ini terasa sangat aneh, bagaimana bisa hanya dengan kegencaran publikasi yang tak melulu didatangkan oleh teks karya, seorang penulis menjadi “besar?” malangnya, apabila ternyata si penulis tadi memang tak berdaya tanpa suntikan faktor luar-teksnya. Bayangkan apa yang terjadi seandainya ada seorang kritikus sastra yang punya reputasi besar, namun dalam tulisan-tulisannya—yang tak pernah ditolak media—sering kita temui argumen mentah, klaim sembrono, pseudo teori dan lain-lain. Kritikus itu tak cuma mempermalukan dirinya, tapi juga sedang menjerumuskan sastra Indonesia! Namun demikian, (nyaris) tak ada yang mempersoalkan hal tersebut. Sang kritikus gadungan tetap kokoh berdiri, bersama reputasi dan nama besarnya, tentu saja. Siapa berani mengusik (baca: mengangkat persoalan tersebut ke permukaan), akan digebug dengan tuduhan keji: TAK BISA BERKARYA, MAKA MENYEBARKAN FITNAH!
Dalam situasi seperti itu, apalagi yang bisa kita harapkan? Publikasi-eksistensi-publikasi telah menjelma lingkaran setan. Hal ini bukan persoalan sepele. Publikasi yang seolah menjadi satu-satunya pintu masuk kedalam ruang eksistensi telah menggelembung begitu hebat, yang semula dan pada hakikatnya hanya merupakan salah satu efek menulis, seringkali, dengan sadar ataupun tidak, dianggap sebagai tujuan menulis. Dalam keadaan begitu, penulis rentan terjebak untuk terus mengejar publikasi, baik yang bersifat literer maupun non literer. Keduanya sama gawat. Penulis yang berusaha mati-matian memburu publikasi literer pada akhirnya akan terjerumus kedalam jurang pelacuran, dalam arti akan ‘menyesuaikan’ karyanya dengan selera media-media publikasi yang dianggap representatif, sekalipun selera itu sifatnya sangat subyektif dan tak berurusan dengan kualitas karya an sich.
Lebih-lebih jika mengejar publikasi non literer. Bukan lagi karya yang dilacurkan, melainkan diri dan ‘jalan kepengarangan’nya. Tentu hal ini berakibat buruk bagi si penulis, penggaliannya pada karya akan macet dan energinya akan terbuang sia-sia untuk mengejar hal yang sesungguhnya tidak esensial.
Kemudian, keadaan diperparah dengan adanya pihak yang menguasai dunia publikasi dalam sastra Indonesia. Maka tak usah heran apabila anda tidak bisa membedakan satu karya dengan yang lainnya di lembar-lembar media publikasi “utama.” Juga tidak usah bingung jika anda tak dapat membedakan sikap pengarang-pengarang “yang dapat tempat” yang satu dengan lainnya. Tak bisa tidak, kolaborasi antara “lingkaran setan” publikasi-eksistensi-publikasi dengan penguasaan ranah publikasi oleh pihak tertentu telah melahirkan penyeragaman. Baik yang sifatnya literer maupun non literer.
***
Peristiwa yang saya jadikan pembuka tulisan ini adalah analogi dari keadaan sastra Indonesia saat ini. Dimana terdapat pihak tertentu yang hendak menguasai milik bersama, tentu akan ada pihak lain yang menuntut keadilan. Apabila dalam kasus perebutan harta warisan di atas, pihak penuntut membunuh pihak yang mendominasi; dalam kasus sastra Indonesia, pihak penuntut bermaksud “membunuh” dominasi yang berlangsung.
Adalah Absynthe, sebuah media yang kali ini dicita-citakan sebagai instrumen komunitas sastra se-Indonesia untuk menuntut adanya keadilan dalam ruang publikasi sekaligus memutus rantai kesialan publikasi-eksistensi-publikasi tersebut. Absynthe memang bukan media pertama yang bercita-cita demikian. Di belakang, sudah bertumpuk bangkai para pendahulu yang gagal “mengembalikan” mayoritas pekerja sastra Indonesia ke “jalan yang benar” dan “menyembuhkan” sastra Indonesia itu sendiri. Tentu peluang Absynthe untuk gagal terbuka sangat lebar, kami—redaktur dan komunitas-komunitas yang tergabung—sadar betul akan hal itu. Namun, bukankah lebih baik melakukan kerja konkret dengan penuh kesungguhan ketimbang hanya memisuh-misuhi keadaan?
Buletin Absynthe menerima kiriman puisi, esei dan cerpen yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Silahkan kirimkan naskah anda ke komunitasrawarawa@yahoo.com. Bagi penulis yang karyanya dimuat, mohon maaf kami belum bisa menyediakan honorarium.Gak dibiayain Ford sih. Ha ha ha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar