Rabu, 20 Oktober 2010

Absynthe Edisi #1: CERPEN

Greatest International Literary Biennale
Dea Anugrah

Alkisah, pada sebuah malam yang cerah—bulan perak yang sangat besar menggantung di langit yang terlalu bersih. Tak ada awan ataupun kabut yang menutupi sinarnya. Juga sinar bintang-bintang dan benda-benda angkasa lainnya—akan diadakan pesta sastra besar-besaran. Bertempat di sebuah kafe mewah yang menyediakan panggung mewah dan makanan-makanan serta minuman-minuman yang mewah pula. Dengan penampil, pembicara, peserta dan komentator dari berbagai negara. Internasional. Dahsyat. Luar biasa.

Menurut ketua panitia penyelenggara, Sunarto Selengek, acara sehebat ini belum pernah ada dalam sejarah pesta sastra di Indonesia. Dan karena itulah, panitia merasa perlu memberikan tajuk yang belum pernah ada dalam sejarah pesta sastra di Indonesia pula. Tajuk yang terkesan gagah namun tak begitu jelas asal-usulnya: Greatest International Literary Biennale.

Berbekal kartu pers butut, sepeda motor butut dan satu stel pakaiannya yang paling bagus namun butut juga, seorang wartawan koran Minggu Sore berangkat ke acara itu. Besar harapannya ia akan dibolehkan meliput oleh satpam yang menjaga agar acara tersebut tetap aman, kondusif, tentram dan terkendali. Besar harapannya agar tak bernasib sama dengan seorang penyair-tak-diundang yang diusir dari acara sebelumnya yang serupa (tapi tak sehebat ini, tentu saja). Ia, wartawan Minggu Sore yang berdedikasi tinggi itu, sekali lagi memastikan kerapihan penampilannya sebelum mengengkol motor.

Tibalah wartawan kita itu di tempat berlangsungnya acara tersebut. Di sana sudah ramai, kebanyakan yang hadir mengendarai mobil dan beberapa mengendarai sepeda motor. Namun dari kedua jenis kendaraan tersebut yang berada di parkiran, tak satupun yang bisa dikatakan mirip dengan kendaraan sang wartawan. Tapi sebagai wartawan yang berdedikasi tinggi, ia tak gentar! Hidup atau mati, ia akan pulang dan membawa berita untuk Lantip, redaktur koran tempatnya menggantung hidup. Begitulah yang terbaca dari roman mukanya. Penuh semangat. Heroik.

Ternyata kartu pers masih dianggap. Wartawan kita diizinkan meliput, meski dari jarak yang agak jauh.

Setelah beberapa kali pembacaan puisi oleh beberapa orang berbeda yang selalu disambut tepuk tangan meriah saat naik dan turun panggung, sampailah acara pada sesi diskusi. Wartawan kita kembali bersemangat. Instingnya mengatakan bahwa ia akan membawa pulang berita yang bagus dan berisi. “Jelaslah, ini kan acara dahsyat,” gumamnya sambil senyum-senyum sendiri.

Seorang pembicara naik ke panggung dan mulai berbicara. Peserta yang kebagian tempat duduk di depan dan tengah banyak yang kelihatan mengangguk-angguk. Sepertinya mereka sepakat betul dengan apa yang dikemukakan oleh pembicara. Wartawan Minggu Sore kita kecewa. Mungkin karena berada jauh di belakang, di dekat pintu masuk, suara pembicara terdengar sayup-sayup saja di telinganya. Ya apa boleh buat, satpam tak mengizinkannya masuk terlalu jauh ke dalam. Selain karena ia bukan tamu undangan, kursi yang disediakan pun semuanya sudah terisi.

Di tengah kegalauan yang rasa-rasanya berlangsung teramat panjang itu, tiba-tiba terjadi sesuatu. Dari baris tengah, seseorang berdiri hendak mengajukan pertanyaan kepada pembicara. Sebuah pengeras suara diberikan kepadanya.

“Selamat malam semuanya. Nama saya Tendra, wartawan koran Minggu Pagi. Saya mau bertanya kepada Mas Narwin selaku pembicara. Oke. Emm. Nganu, Mas, saya seringkali bingung ketika membaca puisi. Saya seringkali ndak ngerti maksud puisinya itu lho. Ini saya yang bodoh atau penyairnya ya?”

Suaranya cempreng dan lantang. Entah karena suara atau pertanyaannya, hadirin-hadirat yang terhormat di kafe itu sontak terbahak-bahak. Termasuk peserta dari luar negeri yang tak paham bahasa Indonesia. Tentu saja muka Tendra yang wartawan Minggu Pagi itu memerah malu ditertawakan begitu. Tapi Wartawan Minggu Sore diam saja, ia tak merasa ada yang lucu dari pertanyaan rekannya sesama wartawan itu.

Bak seorang resi nan sakti, gerak tubuh Narwin Dawinta, sang pembicara, sanggup membuat semua hadirin terdiam kembali. Ia akan menjawab. Kali ini, sepertinya volume suara mic diperkeras, sehingga Wartawan Minggu Sore yang berada di dekat pintu masuk pun bisa mendengarkan deham sang pembicara dengan jelas.

“Begini, Bung Tendra. Singkatnya, sebuah puisi, bagaimanapun juga, memiliki tugas untuk menerangkan dirinya kepada pembaca. Nah, kalau pembaca malah tidak mengerti dan kebingungan, berarti puisi itulah yang gagal. Penyairnya yang bodoh, bukan pembaca. Sebagai contoh puisi-puisi yang berhasil, bacalah album puisi saya, Ginjal Tawon Selir. Terima kasih,” Jawab Narwin. Diiringi senyum khasnya.

Kebanyakan peserta kembali mengangguk-angguk sepakat. Sebagian malah sempat bertepuk tangan. Namun dengan cepat Tendra mengacungkan jarinya lagi. Kali ini wajahnya tampak kalem dan lembut. Karena mic masih berada di genggaman tangan kirinya, ia langsung berbicara. Kali ini suaranya pun terdengar kalem dan lembut.

“Tapi Mas Narwin, saya sudah baca Ginjal Tawon Selir. Tak satu puisi pun di dalamnya yang saya mengerti. Tak satupun lho, Mas. Mengalahkan buku-buku puisi lain yang pernah saya baca.”

Selesai bicara demikian, Tendra menyandang tasnya dan beranjak. Sepertinya ia akan pulang karena sudah mengumpulkan cukup bahan berita. Tendra berjalan menuju pintu. Tendra keluar. Peserta lain diam saja. Satpam diam saja. Senyap. Acara tiba-tiba jadi benar-benar senyap. Narwin Dawinta Sang Pembicara hanya bisa melongo. Di dekat pintu masuk, Wartawan Minggu Sore yang penuh dedikasi itu biru mukanya karena menahan tawa. Ia segera keluar untuk menyusul Tendra, sang wartawan Minggu Pagi. Dan tentu saja, untuk tertawa.


NB: Di hari kedua pelaksanaan Greatest International Literary Biennale yang internasional dan belum pernah ada dalam sejarah pesta sastra Indonesia itu, nyaris tak ada wartawan yang meliput. Setelah diselidiki musababnya, ternyata mereka berbondong-bondong pergi ke Sewon, Bantul, untuk mewawancarai Mbah Andika, seorang ahli pengobatan herbal. Termasuk Tendra, wartawan serba bisa Minggu Pagi dan kawan barunya, Wartawan Minggu Sore yang penuh dedikasi itu.


Dea Anugrah. Lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Tulisan-tulisannya dipublikasikan di antologi Suara-Suara Nurani dan Kalbu (2009), Sebilah Sayap Bidadari (2010), Teka-teki tentang Tubuh dan Kematian (2010) serta sejumlah koran, buletin, tabloid dan jurnal yang terbit di sejumlah kota di Indonesia. Juga di beberapa situs internet. Kuliah di Fakultas Filsafat UGM dan menetap di Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya yang sudah terbit: Penyair (itu) Bodoh (2009). Bergiat di Komunitas rawarawa.


Buletin Absynthe menerima kiriman puisi, esei dan cerpen yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Silahkan kirimkan naskah anda ke komunitasrawarawa@yahoo.com. Bagi penulis yang karyanya dimuat, mohon maaf kami belum bisa menyediakan honorarium.Gak dibiayain Ford sih. Ha ha ha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar