Jumat, 21 Januari 2011

Absynthe Edisi #3: CERPEN

Bangku, Anjing, dan Dua Anak Kecil
Oleh: Sungging Raga


"Kau lihat matahari senja itu, Sally?"

"Ya."

"Seperti uang logam."

"Benar."

"Indah, bukan?"

"Tentu."

"Tapi kamu lebih indah, Sally."

Gadis kecil itu tersipu. Roland merangkulnya, mereka duduk di sebuah bangku tua di halaman belakang sebuah rumah tua yang rumputnya juga sudah tua—ah, dunia memang sudah benar-benar tua. Sally hampir tak bisa bergerak, rangkulan Roland seperti menguncinya, kunci yang menyenangkan tentunya. Rambut gadis itu dikepang dua, pirang, kepalanya merebah ke bahu Roland, agak malu-malu, tetapi memang begitulah gadis kecil yang lugu, selalu malu-malu.

Sejenak mereka tak bicara, atau lebih tepatnya, sedang tidak ada yang harus diungkapkan dengan bahasa, keduanya seperti patung, hanya angin yang membuktikan bahwa mereka adalah manusia. Angin mengembus beberapa helai rambut Sally yang tak sempat terikat.

Bangku itu memang begitu tua, begitu sabar memahami siapapun yang duduk di atasnya. Sekarang bangku itu tersenyum, ada sepasang anak kecil yang sedang menatap matahari terbenam. Bangku itu sengaja dihadapkan ke arah matahari terbenam, tidak ke arah terbitnya, entahlah, semenjak seorang lelaki tua membawanya kemari puluhan tahun lalu, ia sudah menghadap ke barat.

Pada hari-hari biasa, di pekarangan belakang rumah yang rimbun itu, bangku tersebut paling suka merenung, halaman belakang itu ada di dataran tinggi, daerah perbukitan, begitu dingin memang, tetapi pemandangannya sangat indah, dari sini bisa terlihat cakrawala, dan tentu saja, matahari yang senja, yang sedang dihayati oleh dua anak kecil itu.

"Sebentar lagi, Sally."

"Kenapa?"

"Matahari itu pasti hilang."

"Hilang?"

"Ya."

Tiba-tiba Sally bangkit, tak lagi bersandar ke pundak Roland, ia menarik napas, mengembuskannya pelan-pelan.

"Kenapa, Sally?" Roland penasaran.

"Hmh... Tentu kamu tahu."

"Tahu apa?"

"Sebenarnya bukan matahari yang hilang."

Gadis itu menggoyang-goyangkan ikatan rambutnya. Roland selalu senang kalau Sally begitu, semakin manis, diam-diam ia ingin mencium Sally, tetapi tidak pernah berani.

"Lalu?"

"Kita lah yang sebenarnya hilang."

"Kenapa bisa begitu?"

"Sebab kita selalu tahu bahwa matahari itu tidak hilang, matahari ada, meski kita tak lagi melihatnya. Sementara matahari tidak bisa lagi melihat kita, matahari tidak tahu apakah setelah ia terbenam kita masih berada di sini. Karena itulah, matahari ada, dan kita yang sebenarnya hilang."

Roland tak mengerti, bocah itu mencoba merangkul Sally kembali, ada hasrat tertentu yang mengalahkan ketidaktahuan seseorang akan sesuatu. Dan Sally ternyata tidak menolak, keduanya mendekat lagi, saling tersenyum.

Matahari berpipi merah.

***

Dataran tinggi yang lengang dan dingin. Ada seekor anjing melangkah gontai, berhenti di belakang sebuah bangku kayu. Di mata si anjing, bangku itu kosong dan tidak pernah berarti apa-apa. Tak ada yang berarti bagi anjing di dunia ini kecuali sepotong tulang yang entah mengapa harus selalu dilemparkan terlebih dahulu oleh majikannya sebelum bisa ia nikmati. Tetapi anjing tahu, bahwa sekarang, bangku itu pasti sedang berhalusinasi tentang sepasang anak kecil yang duduk di atasnya sambil melihat matahari yang merah seperti uang logam menyala-nyala.

Anjing paham, bangku itu sudah sangat tua, tetapi karena bangku bukan manusia, maka bangku tidak akan mati, apalagi ia terbuat dari kayu jati yang amat kokoh. Anjing terkadang ingin menghibur bangku agar tak selalu membayangkan apa yang tidak ada. Anak itu, dua anak yang saling merangkul sambil melihat matahari senja itu, adalah halusinasi terburuk bagi sebuah bangku yang sudah renta. Anjing mengerti perasaan bangku yang terbuat dari kayu pejal itu, kayu tidak mati, meski keropos, meski kelak patah, kayu tidak mati karena dia tidak dikubur dan tidak dibangkitkan, tidak ada yang namanya pemakaman kayu, meski kadang kayu bisa terkubur begitu saja. Namun halusinasi itu sudah sangat akut. Sekarang anjing melihat bangku itu melamun, tentu saja, sepasang anak kecil yang duduk di atasnya pun hanya akan menghadap ke arah matahari merah yang tak lagi menyilaukan itu, dua anak itu tidak akan kemana-mana lagi, sebab mereka diciptakan dan dikehendaki oleh halusinasi bangku tua itu agar selalu berada di sana dan tidak berpindah sedikit pun sampai senja selesai.

Berulangkali membayangkan hal itu, anjing tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

Bangku itu berharap malam tidak cepat datang, ia ingin dua anak yang duduk di atasnya tidak segera beranjak. Seharusnya waktu tak bisa dihitung, seharusnya waktu diam seperti aku, gumam si bangku. Sementara itu, Roland terus merangkul Sally, sesekali mengecup ujung rambutnya yang paling dekat.

"Rambutmu harum, Sally."

"Terima kasih."

"Pasti kamu keramas setiap hari."

"Tidak juga."

Bangku itu tersenyum: dua anak kecil yang duduk di sebuah bangku untuk menatap matahari akan selalu menjadi pemandangan indah. Bangku itu tak risau ketika ada seekor anjing yang melangkah gontai seperti pasukan kalah perang. Anjing itu sesungguhnya bersih, sering mandi di sungai. Bangku itu kenal betul si anjing, namanya Podil. Anjing itu jinak, tidak akan mengganggu dua anak kecil yang sedang duduk menghadap matahari senja. Sebab anjing itu rabun senja, tak bisa melihat apapun kecuali mencium bau tulang yang harus selalu dilemparkan majikannya sebelum bisa dinikmatinya.

Dua anak kecil itu pun seperti tak merasakan apa-apa ketika ada anjing berdiam di belakang mereka, bangku sudah membuat mereka duduk senyaman mungkin, seperti pencapaian tertinggi dari kenikmatan duduk di sebuah bangku sambil melihat matahari yang perlahan-lahan terbenam di rahim cakrawala.

"Sally..."

"Ya, Roland?"

"Kamu suka senja?"

"Tentu, Roland."

"Kenapa kamu suka senja?"

"Hmm… Karena senja membuat kita bisa berada di sini."

Beberapa potong daun kering jatuh di hadapan mereka, dihela angin yang lembut dan pemalu.

"Kalau begitu, Sally..."

"Ya, Roland?"

"Tidakkah kamu ingin aku menjadi senja?"

"Apa?"

"Menjadi senja."

Gadis itu terdiam sejenak.

"Tidak." lanjutnya.

"Kenapa Sally?"

"Kamu mau tahu, Roland?"

"Ya."

"Karena senja sendiri tidak pernah bisa menjadi kamu, Roland. Tidak pernah bisa menggantikan kamu."

***

Senja belum selesai, seperti tidak akan pernah selesai.

            Di bangku itu, ada sepasang anak kecil duduk menghadap ke arah matahari yang bundar sempurna. Di belakang mereka ada seekor anjing.

Bangku itu tahu, kedua anak kecil itu tak akan pernah merasakan keberadaan anjing di belakang mereka
.
Anjing itu juga tahu, setiap senja tiba, bangku itu akan selalu membayangkan sepasang anak kecil yang duduk di atasnya untuk mengamati matahari terbenam perlahan-lahan di cakrawala.

Dan dua anak kecil itu pun tahu, mereka semua tidak benar-benar ada di hamparan bukit yang sudah sangat tua itu.

Situbondo, 2010
intepretasi sederhana dari lukisan “First Love” karya Norman Rockwell.


Sungging Raga. Cerpenis Prolifik sekaligus penggemar berat kereta api. Buku cerpennya yang sudah terbit: Ketenangan Merentang Kenangan (Greentea, 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar