Jumat, 21 Januari 2011

Absynthe Edisi #3: ESEI

Seribu Klaim, Nol Pemahaman, Nol Pertanggungjawaban
:Tanggapan atas esei Romi Zarman, “Tiga Catatan” (Riau Pos, Minggu, 19 September 2010)
Oleh: Dea Anugrah

Sehabis membaca esei Romi Zarman di Riau Pos edisi Minggu (19 September 2010) berjudul ‘Tiga Catatan,’ beberapa pertanyaan muncul di benak saya. Bukan pertanyaan-pertanyaan kritis yang bermuka-muka dengan realitas, sebagaimana yang biasa timbul sehabis membaca esei berkualitas, melainkan pertanyaan-pertanyaan, atau lebih tepatnya, keraguan-keraguan yang diarahkan kepada esei tersebut, juga kepada penulisnya.

Terus terang, saya tak dapat menahan diri untuk tidak menggarisbawahi banyak pernyataan Romi dalam esei itu. Sekali lagi, maaf, bukan lantaran kalimat-kalimat itu mencerahkan, tetapi karena rasa gemas yang tidak tertanggungkan. Dalam banyak esei sastra—entah itu ditulis oleh kritikus sastra, eseis, penyair, prosais, pengamat sastra hingga pembaca—Indonesia kita seringkali menemukan lubang-lubang berupa klaim-klaim asersif alias pernyataan-pernyataan yang tidak disertai pertanggungjawaban. Sebagian menjadikan keterbatasan ruang dalam media publikasi sebagai alasan, yang lain tak merasa perlu repot-repot menjelaskan. Pokoknya plek tulisan jadi dan dimuat, ya sudah. Mengesalkan, bukan? Ya, memang. Memalukan juga. Tapi hal semacam itu bukanlah peristiwa luar biasa dalam sastra Indonesia. Mau tak mau ya pemakluman juga yang akhirnya menutup kegelisahan. Namun kali ini berbeda, sebab bukan hanya tak ada pertanggungjawaban atas pernyataan-pernyataan yang dideretkan dalam esei berjudul ‘Tiga Catatan’ tersebut, tetapi kelayakan intelektual pernyataan-pernyataan itu sendiri, akibat sikap patronising (sok tahu) sang penulis, berada dalam tingkatan yang sangat mengkhawatirkan.

Sebagaimana terbaca dari judulnya, ada tiga hal besar yang dibicarakan Romi Zarman dalam eseinya tersebut.  Berikut ini saya kutipkan secara utuh pengantar Romi mengenai apa-apa saja yang dibahas dalam eseinya itu, semacam abstraksi: “Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional. Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain.

Mari Membaca Sejarah Sastra Cyber Indonesia

Dalam bagian pertama eseinya, Romi Zarman menjelaskan; Pertama, perbedaan antara sastra cyber dengan sastra koran di Indonesia.  Kedua, posisi media cyber sebagai ruang alternatif sekaligus tempat belajar menulis dan Ketiga, Ia mengklaim adanya ambivalensi dalam sikap sebagian sastrawan cyber setelah terlebih dahulu mengatakan bahwa sastrawan cyber menolak kehadiran sastra koran. Meski pembahasan poin pertama dan kedua dalam bagian pertama esei Romi tersebut juga perlu dipertanyakan-ulang, namun saya, dalam bagian pertama esei ini hanya akan mempersoalkan poin ketiga saja. Yang bagi saya paling gawat. Kata Romi, “...Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah... ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana.”

Entah dari mana Romi mendapatkan informasi bahwa sastrawan cyber jelas-jelas mencurigai proses seleksi koran dan karenanya menolak koran. Dulu, sebelum sastra cyber Indonesia lahir, sudah ada polemik mengenai sastra koran. Yang menjadi instrumen serangan, salah satunya adalah kecurigaan bahwa selera subjektif dan kepentingan redakturlah yang berperan dalam proses seleksi. Itu satu hal, katakanlah namanya ‘Kontoversi Kehadiran Sastra Koran Indonesia.’ Sedangkan sikap sastrawan cyber terhadap sastra koran adalah hal lain. Dalam sebuah perbincangan di Facebook, Saut Situmorang, salah seorang penggerak sastra cyber Indonesia generasi awal menyatakan bahwa yang harus dihancurkan adalah dominasi koran, dalam arti, kekuasaan fasistik dan diktatoris koran dalam menentukan mana karya yang layak, estetis, sublim dan mana yang tidak, yang menjadikan koran (seolah) segala-galanya. Bukan koran sebagai media sosialisasi karya itu sendiri—Beberapa penjelasan serupa juga bisa dibaca dalam Cyber Grafiti: Polemik Sastra Cyberpunk (Jendela, 2004) yang merekam polemik sastra cyber Indonesia. Jadi, bisa dikatakan, bagi seorang sastrawan cyber, koran bukanlah najis dan bukan pula dewa, melainkan sekadar salah satu ruang publikasi, sementara internet adalah ruang publikasi lainnya. Dengan demikian, di manakah letak ambivalensi yang kau keluhkan, Romi?

Pandir Psikis, Bukan Pandir Teknologi

            Dalam bagian kedua eseinya, Romi Zarman mengutarakan bahwa dengan pesatnya perkembangan sastra cyber, sesungguhnya dikotomi antara pengarang lokal-nasional tidak lagi relevan, namun, di sisi lain, masih ada sejumlah pengarang yang bersikukuh mempertahankan pola itu. Menurut Romi, hal tersebut dikarenakan mereka (para pengarang yang masih mempertahankan jurang lokal-nasional itu) tidak mengikuti perkembangan, tidak up to date dan pandir teknologi.

            Karena perkembangan sastra cyber yang begitu pesat, batas-batas teritorial (seolah) lenyap, akses ke media-media yang dianggap lokal bisa dilakukan dari mana saja, maka, dikotomi antara pengarang lokal-nasional, bahkan internasional sesungguhnya tidak lagi relevan. Seorang pengarang yang mempublikasikan karyanya di media lokal, telah dengan sendirinya menjadi bagian dari dunia publikasi nasional dan internasional. Demikian pula sebaliknya. Ya, saya sependapat. Meski ini tentu bukan gagasan baru, sejak awal kemunculan sastra cyber pun gagasan ini sesungguhnya sudah ada. Namun kemudian, yang akan saya tanggapi adalah klaim Romi bahwa pola klasik (dikotomi lokal-nasional) yang masih bertahan disebabkan oleh masih adanya sebagian pengarang ‘nasional’ kita yang gagap memasuki dunia internet. Bentuk-bentuk diskriminasi dari pengarang ‘pandir teknologi’ itu, menurut Romi, antara lain: mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Dan tuduhan itu semakin meledak-ledak: “Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka,” tulisnya.

            Duh, Romi. Memang benar bahwa pola diskriminatif seperti itu harus dihilangkan, tidak ada yang salah dengan tuntutan itu. Yang menjadi persoalan adalah ‘tuduhanmu’ yang tidak tepat sasaran. Mereka, pengarang-pengarang fasis itu, bersikap demikian bukan karena gagap teknologi. Justru, sebagian yang saya temui termasuk orang-orang yang akrab dengan dunia cyber. Dan yang gagap teknologi, tidak selalu bersikap fasis seperti itu. Umbu Landu Paranggi, misalnya, penyair yang konon sampai sekarang tidak mau menerima kiriman puisi via e-mail untuk rubrik Apresiasi koran Bali Pos yang dijaganya, dikenal luas sebagai sosok yang jauh dari sikap ‘sombong’ a la para pengarang fasis. Sebaliknya, beberapa nama pengarang (sekadar) ‘nasional’ yang ‘sombong’ yang saya ketahui, adalah orang-orang yang relatif fasih dan piawai memanfaatkan media internet. Dengan demikian, tepatkah jika kepandiran teknologi sebagian pengarang dijadikan alasan bagi masih bernyawanya dikotomi lokal-nasional hari ini? Saya kira tidak. Mereka bukan pandir teknologi, tapi pandir psikis. Betapa pun majunya perkembangan teknologi internet, dan betapa pun lihainya para pengarang kita memanfaatkannya, jurang label lokal-nasional, senior-junior dan sikap-sikap diskriminatif itu akan tetap ada, selama kejiwaan mereka masih bermasalah.

Logika Pasar Bukanlah Logika Kesusastraan

            Dalam bagian terakhir eseinya, Romi Zarman menuliskan tentang ambivalensi dalam membumikan sastra, tarik menarik antara media cetak-media cyber dan penerbit besar-penerbit kecil.

 Menurutnya, masyarakat kita memang tak asing lagi dengan internet, namun sebagian besar hanya memanfaatkannya sebatas untuk mencari hiburan, bukan untuk memenuhi kebutuhan akan seni dan ilmu pengetahuan. Maka, bagi Romi, internet tak akan cukup berhasil untuk membumikan sastra. Sebagai pengganti, Romi menyarankan untuk belajar pada kesuksesan buku-buku populer di pasar dan melibatkan penerbit, distributor dan toko-toko buku besar. Katanya, lewat cara itulah buku-buku sastra bisa dekat dengan masyarakat, dekat dengan pembaca. Membumi.

Selanjutnya, ia mengkritik penerbit-penerbit kecil. Menurutnya, penerbit kecil yang kebanyakan menolak mendistribusikan buku-bukunya lewat distributor besar dan toko-toko buku besar atas nama penolakan terhadap kapitalisme, di sisi lain telah melakukan praktik kapitalisasi dengan mengeruk keuntungan dari para pengarang.

Baiklah, mari kita lihat satu per satu. Mengenai proyek pembumian sastra, tidakkah Romi mengerti bahwa persoalannya terletak pada resepsi masyarakat kita atas sastra dan bukan mudah atau tidaknya mencari buku-buku sastra. Seandainya Romi melakukan riset terlebih dahulu, katakanlah mencari tahu berapa banyak buku sastra yang laku di toko-toko buku per tahun, saya rasa ia akan lebih paham duduk perkaranya. Di toko buku terbesar di Indonesia sekalipun, buku-buku sastra jauh dari label best-seller. Memang adakalanya buku sastra laris manis hingga dicetak berulangkali. Tetralogi Pulau Buru, misalnya, belakangan ini termasuk buku-buku laris (sekalipun masih kalah laku dengan buku panduan praktis beternak ayam broiler dan cara mudah menulis skripsi), tapi harus diingat, kejadian-kejadian di ranah sosial-politik Indonesia dan sosok Pramoedya sendirilah yang terutama menarik masyarakat kita untuk penasaran, membeli dan membacanya. Bukan kebutuhan masyarakat atas novel-novel bermutu. Seandainya Tetralogi Pulau Buru tidak diberangus dan Pramoedya tak dipenjarakan oleh Rezim Orde Baru, barangkali hari ini, karya monumental tersebut akan bertumpuk di gudang distributor karena tidak laku, bahkan mungkin tidak pernah diterbitkan ulang. Suka atau tidak, begitulah keadaan masyarakat kita. Tingkat resepsi atas karya sastra masih sangat rendah. Jadi, sekali lagi, letak permasalahannya bukan pendistribusian buku-buku sastra lewat internet atau jaringan komunitas atau distributor besar, bukan pula penerbitan buku lewat penerbit kecil atau besar. Tapi minat masyarakat terhadap karya sastra. Minat itulah yang perlu dikembangkan, dan itu jelas bukan tugas pengarang. Ia akan secara alamiah berkembang seiring dengan berkembangnya tingkat peradaban masyarakat.

Apabila Romi mempersoalkan kedudukan sastra sebagai milik kaum elit, bagi saya hal itu justru wajar-wajar saja, selama elit di sini hanya dimaksudkan sebagai sedikitnya jumlah orang. Sejak dulu, karya sastra memiliki pembacanya sendiri, dalam jumlah yang minor, tentu saja. Dan tradisi membaca sastra ini tidak berkaitan dengan stratifikasi sosial (tingkat pendidikan formal, tingkat kekayaan dan sebagainya). Seorang profesor, misalnya, bisa jadi lebih menyukai sinetron ketimbang kelembutan puisi-puisi Paul Verlaine. Seorang konglomerat multi-nasional bisa jadi lebih menggemari kelap-kelip lampu diskotik atau dangdut Pantura daripada kisah cinta yang menyelinap di tengah panasnya persaingan keluarga-keluarga mafia dalam novel-novel Mario Puzo. Sebaliknya, seseorang yang tidak lulus sekolah dasar atau seorang tukang angkut sampah atau pedagang kaki lima boleh jadi menikmati hidupnya karena selalu menyempatkan diri membaca satu-dua buah cerita pendek Charles Bukowski yang sarat humor sebelum naik ke peraduan.

Kemudian, mengenai kritik Romi kepada penerbit-penerbit kecil. Sekali lagi, saya menyarankan Romi untuk melakukan riset terlebih dahulu. Misalnya mewawancarai orang-orang yang bergerak di dunia penerbitan, atau yang lebih ekstrem, membuka penerbitan (kecil) sendiri dan menerbitkan buku-buku sastra. Kalau penjualan buku-buku sastra keluaran penerbit (bermodal) besar, didistribusikan oleh distributor-distributor besar dan dipajang di toko-toko buku besar saja masih kurang berhasil, apalagi buku-buku sastra yang terpaksa dicetak ala kadarnya karena penerbitnya hanya bermodal gairah, tidak didistribusikan lewat distributor karena distributor mengkehendaki persenan yang menghisap darah dan tidak dipajang di toko-toko buku besar karena para pedagang itu bagaimanapun juga akan mengutamakan buku-buku laris (buku-buku sastra yang jelas tidak termasuk kategori itu terpaksa bertapa dalam gudang pengap sembari menunggu waktunya di-retur). Dalam keadaan seperti ini, yang dapat dilakukan para penerbit kecil itu hanyalah berhenti menerbitkan buku-buku sastra dan ganti menerbitkan buku-buku yang dikehendaki pasar, atau terpaksa menggulung tikar. Nah. Tapi untunglah masih ada distributor dan toko buku alternatif: internet dan komunitas-komunitas sastra, yang perannya diremehkan Romi, padahal sesungguhnya paling efektif dalam menghantarkan buku-buku tak laku tadi kepada pembacanya yang memang sedikit. Kepada para pembaca sastra.

“Logika pasar bukanlah logika kesusastraan,” ujar Octavio Paz suatu ketika. Dan yang terjadi memang selalu begitu. Ini hal yang sederhana saja. Dan saya kira, untuk memahaminya, kita tidak memerlukan kerja ekstra.


Dea Anugrah. Lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, 27 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen dan esei di sejumlah bunga rampai, media massa cetak serta online. Kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan bergiat di Komunitas Rawarawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar