Jumat, 21 Januari 2011

Absynthe Edisi #3: SAJAK

Kereta yang Menjemput Kita

kereta yang menjemput kita baru saja tiba. di sekitar rel,
getarannya masih kuat terasa. roda-rodanya perlahan berhenti berputar.
kita lalu memahaminya sebagai sebuah panggilan yang samar.
sebuah nyanyian, yang mengajak kita untuk segera berjalan,
melepaskan kenangan, melupakan kesedihan.

kita menyerahkan tatapan mata pada akhir dari sebuah perjalanan.
di mana tempat perhentian, mulai begitu saja ditinggalkan dan dilupakan.
kita kini, berada di tempat ini, berdiri. gerbong-gerbong menatap kita
gelisah tanpa sebuah senyuman. seperti baru saja menemukan
sebuah rumah yang dihuni begitu banyak kejadian memilukan.
dan kita pun melangkah perlahan. lalu burung-burung entah dari mana
seketika beterbangan. dan  sesaat lagi kita akan berteman
dengan lamanya perjalanan. sambil berusaha untuk melupakan
setiap kilometer ingatan. masa lalu yang terlanjur kelabu,
semoga segera dihantam waktu hingga hancur menjadi debu.

kereta yang menjemput kita telah ada di hadapan mata. semakin
lemah saja langkah-langkah. semakin sulit saja menatap langit. semakin
terasa sia-sia, pencarian yang selama ini kita lakukan. sebab
kebenaran nyatanya masih saja disamarkan. dan betapa
pengkhianatan, masih terasa perih menyakitkan.

Bogor, November 2010



Ardy Kresna Crenata lahir di sebuah desa Cianjur dan sudah lima tahun ini menetap di Bogor. Ia tengah berusaha menuntaskan studi S1-nya di Institut Pertanian Bogor Departemen Matematika.




Pada Sebuah Taman
Kepada Cecelia A. Puspita

aku ingin mendengar kicau burung-burung pagi
aku ingin merasakan getar lagu daun-daun jatuh
di taman ini, fajar demikian gugup demikian gagap
lahir dan beralih begitu saja tanpa meninggalkan apapun
kecuali dingin udara dan lembab tetes embun mengendap
pada bangku-bangku kayu tanpa pernah tahu
siapa yang telah kuasa memilikinya.

musim semi hadir dalam penantianku
membayangkan pohon-pohon tumbuh dari anganku
lumut-lumut mulai merambat dari celah dinding
mengalir dalam darah menuju setiap ruang dalam rongga dadaku
lalu mulai kurasakan sejuk udara menjalar
ke seluruh tubuh bagai kuntum bunga yang jatuh pada alir sungai
di taman ini, hanyut dan berkelok mengikuti arus
yang tak pernah dapat kita terka dimana ia akan tertambat.

kau adalah musim burung-burung bernyanyi
kau adalah musim yang menanggalkan bunyi daun-daun jatuh
di jalanan, mobil-mobil bergegas melaju dalam kecepatan tinggi
sesegera mungkin meninggalkan kota dingin ini
mereka tinggalkan rumah-rumah yang tak lagi memberi cahaya
dan bangku-bangku taman telah ditumbuhi jamur
tinggal bangku yang kita duduki ini, yang memberi sisa kehangatannya
sebelum jamur diterbangkan angin musim dingin kemari
segera kemasilah seluruh angan dan ingin yang merebak dalam benakku
lalu masukkan dalam koper yang tentu kau tahu
kemana akan kau buang kuncinya.

(Yogyakarta, 02 Desember 2010)



Requiem Kesunyian

sesekali singgahlah di ruang terdalam sajakku
hingga suara-suara riuh memanggili nama-Mu

dan sesudahnya, tentu akan segera kau mengerti
tentang siapa yang belajar kehilangan lebih dulu.
(Yogya, 01 November 2010)


Dwi S. Wibowo lahir di Jatilawang pada 23 Februari 1990. kini kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Aktif di Sanggar Kreatifitas Manusia (Sarkem) Yogyakarta serta Komunitas Rawarawa.




Sonet XII

hujan mengguyur Surabaya. Lalu lintas buyar.
Kenangan kembali mengejar. Sepanjang jalan Kertajaya
aku berlari melewati patahan ranting. Tapi seraut muka
datang dari segala arah dan dada ini menjadi gemetar.

Apa yang berubah dari kota ini selain kau telah pergi
selain lidahku terus memanjang. Begitu rindu
pada tipis bibirmu. Begitu candu pada baris gigimu. Kapanlah lagi
bersama, menyusuri taman kota. Berdesakan dalam bus kota.

Bersorak liar dalam kaos hijau. Menunggu di Stasiun Gubeng
duduk di pelataran Pasar Wonokromo. Di mana kau
lidahku memanjang mencari mulutmu. Di dalam ruang mulutmu
aku ingin kembali bilang bahwa aku mencintaimu. Sekarang

aku meratapi perpisahan ini seperti raung serigala hutan
lapar akan sekerat daging di tengah segala hujan.

(2010)

Syaiful Bahri, lahir di Sumenep 11 Maret 1991. Kini dia menetap dan kuliah di sebuah universitas di Surabaya. Bergiat di komunitas ESOK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar