Jumat, 21 Januari 2011

Absynthe Edisi #3: TERJEMAHAN

Kematian Ayah
Oleh: Charles Bukowski

            Ibuku mati setahun yang lalu. Seminggu setelah kematian ayah, aku berada sendirian di rumahnya. Di Arcadia. Padahal biasanya, aku hanya melintasi tempat ini dalam perjalanan pulangku ke Santa Anita.

            Para tetangga tak mengenalku. Upacara pemakaman telah selesai, dan aku berjalan ke kran, menuang segelas air, meminumnya, lalu keluar. Karena menganggur, aku mengambil selang, menyalakan kran air, dan mulai menyirami bunga. Tirai terhembus sementara aku berdiri di halaman depan.

Orang-orang keluar dari rumah mereka. Seorang perempuan datang dari seberang jalan.

            “Kau Henry?” tanyanya.

            Aku memberitahunya kalau aku Henry.

            “Kami telah mengenal ayahmu bertahun-tahun lamanya.”

            Kemudian suami perempuan itu menyusul. “Kami kenal ibumu juga,” ujarnya.

            Aku mematikan aliran air. “Tidakkah kalian ingin mampir?” tanyaku berbasa-basi. Mereka memperkenalkan diri sebagai Tom dan Nellie Miller lalu kami masuk ke dalam rumah.

            “Ah, kau benar-benar mirip ayahmu.”

            “Yah, begitulah kata orang.”

            Kami duduk berhadap-hadapan.

            “Oh,” seru Nyonya Miller tiba-tiba, “Ia mengoleksi banyak lukisan. Pasti ada yang paling ia sukai.”

            “Ya, sepertinya demikian...”

            “Saya benar-benar suka lukisan kincir angin di senjakala itu.”

            “Anda bisa mengambilnya.”

            “Oh, bolehkah?”

            Bel pintu berbunyi. Kali ini keluarga Gibson yang berkunjung. Mereka juga mengatakan bahwa telah bertahun-tahun bertetangga dengan ayahku.

            “Kau sungguh mirip ayahmu,” kata Nyonya Gibson.”

            “Tadi Henry menghadiahi kami lukisan kincir angin,” kata Nyonya Miller

            “Wah, baik sekali. Hmm, saya jatuh cinta pada lukisan kuda biru itu.”

            “Anda boleh mengambilnya, Nyonya Gibson.”

            “Ah, sungguh?”

            Bel berbunyi lagi dan pasangan lain ikut bergabung. Aku biarkan pintunya sedikit terbuka. Tak lama kemudian, seorang pria melongokkan kepalanya. “Saya Doug Hudson. Istriku sedang ke salon.”

            “Silakan masuk, Tuan Hudson.”

            Orang-orang terus berdatangan. Kebanyakan berpasangan. Dan mereka mulai mondar-mandir di dalam rumah.

            “Apa kau akan menjual rumah ini?”

            “Kupikir begitu.”

            “Ini lingkungan yang menyenangkan.”

            “Ya, aku bisa melihatnya.”

            “Oh, aku menyukai bingkai ini, tapi tidak lukisannya.”

            “Bawa saja bingkainya.”

            “Tapi apa yang akan kulakukan dengan lukisannya?”

            “Buang ke tempat sampah.” Aku menyapukan pandang ke sekeliling, “Kalau ada lukisan yang anda sekalian sukai, silahkan ambil.”

            Mereka melakukannya. Sebentar saja, dinding seolah telanjang.

            “Kau memerlukan kursi-kursi ini?”

            “Tidak, tidak terlalu.”

            Rumah terasa sesak, pengunjung bertambah banyak, sebagian bahkan tak merasa perlu memperkenalkan diri padaku.

            “Bagaimana dengan sofanya?” Seseorang bertanya dengan suara keras. “Apa kau menginginkannya?”

            “Tidak,” jawabku.

            Mereka membawa pergi sofa, meja dan kursi makan.

            “Kau punya pemanggang roti ‘kan, Henry?”

            Mereka mengambil pemanggang roti.

            “Kau tidak butuh piring-piring ini kan?”

            “Tidak.”

            “Sendok-garpunya?”

            “Tidak.”

            “Bagaimana dengan teko kopi dan penggiling?”

            “Ambil saja.”

            Salah seorang wanita yang berkunjung membuka-buka lemari makan. “Bagaimana nasib buah-buahan awetan ini? Kau tak mungkin memakan seluruhnya.”

            “Baiklah, semua orang, ambil yang kalian mau. Tapi berbagilah dengan adil.”

            “Oh, aku ingin stroberi!”

            “Aku menginginkan buah ara!”

            “Wai, selai jeruk itu jatahku!”

            Orang-orang pergi dan datang kembali, sebagian membawa pengunjung baru bersama mereka.

            “Hei, ada sebotol kecil wiski di lemari makan! Apa kau minum alkohol, Henry?”

            “Jangan sentuh wiskinya.”

            Rumah semakin ramai. Terdengar suara jamban disiram. Seseorang memecahkan kaca.

            “Sebaiknya kau simpan penyedot debu ini, Henry. Bisa kau gunakan di kamar sewamu.”

            “Baiklah, aku akan menyimpannya.”

            “Ayahmu punya sejumlah perkakas berkebun di garasi. Bagaimana?”

            “Tidak, tidak, lebih baik kusimpan.”

            “Saya akan memberimu 15 dolar.”

            “Oke.”

            Ia memberiku 15 dolar dan aku meminjamkannya kunci garasi. Tak lama kemudian, terdengar bunyi mesin rumput yang didorong menyebrangi jalan.

            “Harusnya perkakas-perkakas itu tak kau jual seharga 15 dolar saja, Henry. Harganya lebih dari itu.”

            Aku diam saja.

            “Bagaimana dengan mobilnya? Sudah berusia empat tahun.”

            “Kupikir aku akan menyimpan mobilnya.”

            “Aku akan membayarmu 50 dolar.”

            “Aku tetap akan menyimpan mobilnya.”

            Seseorang menggulung karpet di ruang tamu. Setelahnya, tak ada lagi yang mereka inginkan. Hanya tiga atau empat orang yang tinggal, dan kemudian mereka semua pergi. Mereka menyisakan selang air, tempat tidur, kulkas butut dan segulung tisu jamban buatku.

            Aku berjalan keluar dan bermaksud mengunci pintu garasi. Dua bocah laki-laki berpapan luncur melintas. Mereka berhenti ketika aku mengunci pintu garasi.

            “Kau lihat pria itu?”

            “Ya.”

            “Ayahnya baru saja mati.”

            Mereka kembali meluncur. Aku mengambil selang, memutar kran dan mulai menyirami mawar.


--diterjemahkan oleh Dea Anugrah
"The Death of the Father" dalam Hot Water Music (1983).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar